Oleh: Ulwan Fakhri
TAHUN 1994, seorang pendidik bernama David Chevreau berhasil menamatkan studi masternya dari University of British Columbia, Kanada, gara-gara meneliti seorang murid di sekolahnya. Murid ini bukanlah yang ber-IQ paling tinggi atau yang sudah menyabet prestasi non-akademik sana-sini. Siswa itu “cuma” seorang badut kelas alias class clown.
Cara pandang Chevreau di penelitian berjudul “Class Clown and Court Jester: a case study approach to the tradition of the fool” itu layak disebut revolusioner. Sebabnya, ia sudah tidak lagi melihat badut kelas sebagai hama yang harus dikurung apalagi dibasmi, melainkan “badut istana kecil” yang berperan mendinamiskan “istana mungil”-nya.
Anggaplah si badut kelas ini setara dengan badut istana – profesi yang sudah ada sejak 4.000 tahun lalu, maka mayoritas peserta ajar di kelas itu ibarat rakyat biasa dan guru atau dosen jadi raja/ratunya.
Badut kelas adalah ia yang sukarela memberikan sedikit penghiburan ketika “rakyat biasa” kelelahan belajar atau merasa bosan di kelas lewat celetukan dan tingkahnya. Di sisi lain, kejahilan-kejahilannya bisa dibaca sebagai feedback informal kepada “penguasa”, siapa tahu kurikulumnya perlu diperbaiki ke depannya atau strategi mengajarnya bisa dikembangkan lagi agar lebih menggairahkan.
Tulisan pendek ini merupakan pledoi pengantar agar para pengajar lebih memahami badut kelas – figur yang mampu mempererat hubungan pengajar dan mayoritas peserta ajar itu. Siapa tahu, dengan berubahnya paradigma lama, para pengajar jadi terdorong untuk memanfaatkan peran badut kelas secara maksimal.
Kekuatan Badut Kelas
Mengidentifikasi badut kelas tidak memerlukan survei atau tes tertentu. Tips dari William Purkey, lihat saja peserta ajar Anda yang paling sering membuat teman-temannya tertawa. Ia tampak sudah berbakat untuk itu, tanpa harus bersusah payah. Namun percayalah, pada dasarnya, hal itu banyak terbantu oleh tulusnya niat si badut kelas untuk menghadirkan rasa bahagia, baik bagi dirinya sendiri maupun orang-orang di sekitarnya (Purkey, 2006, h.15).
Kalau sebuah kelas punya badut kelas, maka artinya kelas itu terberkahi! Pun dengan kemampuan si badut kelas untuk membahagiakan diri dan orang lain, itu juga berkah yang bisa dijadikan peluang berkarir!
Faktanya, banyak komedian profesional yang mengaku sebagai class clown dan mengasah insting komedinya sejak bangku sekolah, dari Jay Leno (Leading with My Chin, 1996) hingga Pandji Pragiwaksono (Merdeka dalam Bercanda, 2012). Bahkan di Australia, sejak tahun 2009, Melbourne International Comedy Festival menyediakan panggung khusus untuk para badut kelas usia 14-18 tahun.
Lebih lanjut, dengan mempersilakan badut kelas “berkarya”, pengajar tidak hanya dibantu untuk membuat kelas lebih bergairah, tetapi juga memberi ruang bagi badut kelas untuk mengasah kecakapan hidupnya (life skills), misalnya dari segi komunikasi asertif dan resiliensi diri. Dalam bukunya, Teaching Class Clowns (and What They Can Teach Us) (2006), Purkey yang merupakan profesor di bidang pendidikan konseling itu bahkan meyakini badut kelas cocok dijadikan role model bagi peserta ajar lain agar punya kecakapan serupa.
Dalam berkomunikasi, badut kelas tidak ragu untuk mengutarakan beragam isi kepala mereka. Mereka pun tidak segan menyampaikannya kepada orang yang lebih “kuat” darinya – sekalipun akan dianggap konyol atau mengganggu.
Dalam porsi dan respons yang pas, sikap asertif yang ditunjukkan si badut kelas bakal memprovokasi peserta ajar lain untuk pelan-pelan mau sekaligus bisa terlibat lebih aktif di forum. Sering-seringlah memberi kesempatan si badut kelas berpendapat dan memberi kesempatan peserta lain untuk ikut vokal. Dari situ, Anda bisa perlahan mengenalkan etika mengajukan ketidaksetujuan, yang akan manfaatnya bakal banyak terasa di luar kelas.
Di samping itu, Deborah Hill, Ph.D., dalam bukunya School Days, Fun Days: Creative Ways to teach Humor Skills in the Classroom (1993, h.39), pernah menulis bahwa “Kebanyakan badut kelas hanyalah siswa yang sedang bosan.” Ya, badut kelas biasanya paling cepat untuk beradaptasi dengan rasa bosan lewat celetukan-celetukan lucunya. Respons ini merupakan praktik resiliensi diri yang paling sederhana di kelas.
Contoh lainnya, pasti Anda pernah menyaksikan kemampuan badut kelas dalam berkelit atau berargumen secara humoristis ketika mendapat pertanyaan yang menjebak atau susah, bukan?
Percayalah, kemampuan seseorang dalam menemukan humor pada situasi bosan, penuh tekanan, rasa frustrasi, bahkan tragedi bakal jadi modal krusial bagi generasi muda mengarungi hidupnya ke depan yang penuh ketidakpastian. Dengarkanlah mereka dan jika memungkinkan tawarkan solusi atau perubahan selagi bisa.
Namun, pengajar patut waspada apabila ada badut kelas yang tipenya destruktif. Cirinya, ia suka menjadikan orang lain sebagai bahan tertawaan, tak peduli sesama temannya bahkan guru atau dosennya sendiri. Dia juga ingin terus-menerus mendapat sorotan, sehingga dia tidak akan membiarkan korbannya “melawan”, lebih-lebih dengan sesuatu yang berpotensi dianggap lebih menghibur dari keisengan bahkan perundungannya yang tidak lucu itu (Purkey, 2006, h.27).
Kalau ada badut kelas macam begitu di kelas, pengajar memang harus menanganinya dengan tegas. Akan tetapi, selagi masih banyak yang merasakan untung atas kehadirannya, biarkanlah badut istana modern ini menunjukkan jati dirinya. Sebab, merekalah generasi baru Will Sommers, Tenali Rama, atau Nasruddin Hoja yang bakal susah ditandingi kecerdasan buatan.
*)Ulwan Fakhri, peneliti Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3) & pionir Certified Humor Professional Association for Applied and Therapeutic Humor (AATH) dari Indonesia.
Berikan Balasan