Oleh: Suratno Muchoeri
Prof. Deliar Noer pernah menjelaskan bahwa Madura adalah sebagai “Benteng Islam di Indonesia” karena kekentalan nuansa religius masyarakatnya. Jika Aceh dijuluki Serambi Mekkah maka Madura dijuluki Serambi Madinah. Hal ini ada benarnya karena proses Islamisasi Madura pada jaman kerajaan baik sumenep di Madura Timur maupun Majapahit di Madura Barat memang mengalami sukses besar sehingga prosentase penduduk Muslim di Madura sekarang di atas 95%. Akan tetapi, harus di akui juga bahwa sejarah kerajaan-kerajaan Madura sebenarnya merupakan kelanjutan dari kerajaan-kerajaan besar di Jawa, mulai dari Kediri, Singasari, Majapahit dan Mataram. Oleh karena itu, pada zaman pra-Islam, penduduk Madura umumnya beragama Hindu-Buddha, sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya. Meski begitu, sejarawan H.J De Graaf mengakui sulitnya merekonstruksi masa pengaruh Hindu-Budha di Madura ini karena kelangkaan sumber sejarah. (www.lontarmadura.com).
Menurut De Graaf, hanya ada beberapa candi baik di Pamekasan maupun Sumenep yang bisa dijadikan bukti bahwa agama Hindu-Budha pernah dianut masyarakat Madura. Di perkirakan pengaruh Hindu-Budha yaitu sejak abad ke 9, sejak berkembangnya cerita Raden Segoro, sampai sekitar abad ke 15, yakni setelah mulai berkembangnya masyarakat mengenal Islam dan lalu mereka menganutnya. Pengaruh Hindu-Budha juga diperkuat dengan adanya catatan bahwa di abad-abad itu secara berturut-turut Madura dibawah pengaruh Kediri (1050-1222), Singosari (1222-1292) dan Majapahit (1294-1572), yang kesemuanya beragama Hindu dan Budha. Sementara dicerita lainnya, putra Prabu Kertabumi lainnya bernama Ario Damar (menjadi adipati di Palembang) mempunyai putra Raden Ario Menak Senoyo. Ario Menak Senoyo kemudian meninggalkan Palembang dan menetap di Madura, tepatnya di Parupuh (sekarang dikenal dengan nama Proppo). Kisah Madura bagian Barat ini bermula dari kisah mereka berdua. Mereka masih setia dengan agama primitifnya, yaitu Hindu. Sebagai bukti, di sana terdapat puing-puing candi yang gagal dibangun. Orang menyebutnya Candi Burung (“burung” dalam bahasa Madura bermakna gagal). (www.lontarmadura.com). Candi Burung inilah yang lalu terkait dengan sejarah Vihara Avalokitesvara.
Vihara Avalokitesvara (Klenteng Kwan Im Kiong) merupakan vihara terbesar kedua di Pulau Jawa, yang terletak di Dusun Candi, Desa Polagan, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan, Provinsi Jawa Timur. Lokasinya sekitar 14 kilometer sebelah timur Kota Pamekasan dan berdekatan dengan obyek wisata Pantai Talang Siring. Lokasi vihara ini mudah ditempuh dengan moda transportasi darat, baik kendaraan roda dua maupun kendaraan roda empat. Dari Kota Pamekasan mengambil jalur ke arah Kota Sumenep nanti akan menemui obyek wisata Pantai Talang Siring, lalu masuk jalan di sampingnya ke arah selatan sejauh 1,5 kilometer. Pengunjung akan melintasi jalan dengan pemandangan mangrove di sebelah kiri dan tambak di sebelah kanan, hingga sampai ke kompleks vihara tersebut.
Sejarah Vihara
Bagi kalangan warga Tionghoa, Kelenteng Kwan Im Kiong sebutan lain untuk Vihara Avalokitesvara, mempunyai keunikan tersendiri. Selain merupakan Tempat ibadah umat Tri Dharma terbesar di Madura, sejumlah warga Tionghoa mengaku tertarik karena Vihara Avalokitesvara mempunyai sejarah yang panjang. Ada semacam legenda atau cerita lisan yang telah berlangsung turun-temurun termasuk sisa-sisa peninggalan budaya jaman Majapahit.
Menurut penjelasan Bapak Kosala Mahinda, ketua dan sekaligus pemilik kompleks vihara, pada awal abad ke-16 terdapat sebuah Kerajaan Jamburingin di daerah Proppo sebelah barat Pamekasan, yang menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit. Raja-raja Jamburingin punya rencana membangun candi untuk tempat beribadah, tepatnya di kampung Gayam, sekitar 2 kilometer ke arah timur Kraton Jamburingin. Mereka mendatangkan perlengkapannya lewat Pantai Talang dari Kerajaan Majapahit. Dahulu Pantai Talang dijadikan tempat berlabuh perahu-perahu dari seluruh penjuru Nusantara karena karena pantainya yang landai dan bagus pemandangannya. Terlebih bagi armada Kerajaan Majapahit untuk mensuplai bahan-bahan keperluan keamanan ataupun spiritual di wilayah Pamekasan.
Lebih lanjut Bapak Kosala menjelaskan, untuk kepentingan pembangunan candi, di kirim patung-patung dan perlengkapan ibadah. Namun, setelah tiba di pelabuhan Talang, kiriman patung-patung dari Majapahit ke Kraton Jamburingin tidak bisa diangkat karena terlalu berat. Penduduk pada waktu itu hanya bisa mengangkat beberapa ratus meter saja dari pantai. Akhirnya, penguasa Kraton Jamburingin memutuskan untuk membangun candi di sekitar pantai Talang. Tempat Candi yang tidak terwujud itu sekarang dikenal dengan Desa Candi Burung merupakan salah satu desa di Kecamatan Poppo, yang lokasinya berdekatan dengan Desa Jamburingin. Burung dalam bahasa Madura berarti gagal (tidak jadi). Akan tetapi, rencana pembangunan candi di Pantai Talang pun tidak terlaksana karena Kerajaan Majapahit yang mulai pudar serta penyebaran agama Islam mulai masuk dan mendapat sambutan yang baik di Pulau Madura, termasuk daerah Pamekasan. Akhirnya, patung-patung kiriman dari Majapahit pun dilupakan orang, serta tertimbun dalam tanah.
Bapak Kosala menuturkan, 3 abad kemudian, sekitar tahun 1800, Pak Burung seorang petani-nelayan secara tidak sengaja menemukan patung-patung dari Majapahit tersebut di ladangnya. Kabar penemuan itu menarik perhatian Pemerintah Hindia Belanda. Mereka meminta Bupati Pamekasan Raden Abdul Latif Palgunadi alias Panembahan Mangkuadiningrat I (1804-1842) untuk mengangkat dan memindahkan patung-patung tersebut ke Kota Pamekasan. Akan tetapi, karena keterbatasan peralatan saat itu, proses pemindahan patung-patung tersebut juga gagal. Patung-patungnya tetap berada di lokasi ketika pertama kali ditemukan. Kurang lebih 100 tahun kemudian, sebuah keluarga Tionghoa membeli ladang tempat penemuan patung-patung tersebut. Setelah dibersihkan, diketahui bahwa patung-patung tersebut bukan sembarang patung karena memiliki khas Buddha beraliran Mahayana yang punya banyak penganut di daratan Tiongkok. Salah satu patung itu dianggap sebagai patung Dewi Kwan Im Po Sat alias Avalokitesvara. Tingginya 155 sentimeter, tebal tengah 36 cm dan tebal bawah 59 cm. Kabar ini pun tersebar luas di kalangan orang Tionghoa di Pamekasan dan Pulau Madura umumnya. Sejak itulah dibangun sebuah kelenteng untuk menampung patung Dewi Kwan Im Po Sat, Dewi Welas Asih yang sangat dihormati di kalangan masyarakat Tionghoa.
Rumah Ibadah “Bhineka-Tunggal-Ika”
Bapak Kosala menjelaskan bahwa Vihara yang sekarang ada merupakan perwujudan dari semangat Bhineka Tunggal Ika, yakni rumah ibadah berbeda-beda agama tetapi hidup rukun berdampingan antara satu dengan yang lainnya. Vihara yang memiliki lahan seluas 3 hektar ini, memiliki 5 altar pemujaan ditambah dengan 3 sarana ibadah bagi pemeluk agama lain serta sejumlah fasilitas dan sarana lainnya. Pintu masuk menuju vihara memilki aksen gapura khas Bali, dan di sisi kanan dan kiri vihara, berdiri dua buah pagoda yang mengapitnya. Ada beberapa bangunan yang berada di kawasan vihara ini, namun ada bangunan yang cukup unik dimana arsitektur luarnya mirip dengan candi serta dindingnya memiliki relief-relief tentang kisah hidup Shidarta Gautama mulai dari beliau lahir. Relief ini juga dilengkapi tulisan-tulisan sehingga anda bisa memahami lebih dalam maksud dari relief tersebut. Bangunan ini bertuliskan Dharmasala dan di depan pintunya tumbuh pohon Bodhi serta rumah untuk para Bikku. Di vihara ini terdapat altar Thian Kong yang berada di depan setelah pintu masuk halaman yang bercorak Bali, lalu altar Dewi Kwan Im Thang yang berada di bangunan tengah. Selanjutnya, adalah altar Avalokitesvara (Dewi Kwan Im Posat) yang merupakan altar utama bagi vihara ini, yang merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit abad 14.
Kemudian bangunan di sisi kanan dari ketiga altar tersebut, terdapat Li Thang dipakai untuk altar pemujaan terhadap Nabi Konghucu dan Nabi Tao. Ada juga bangunan Tian Cin (Gedung Agung) yang digunakan untuk altar pemujaan Kwan Kong Jai Shen Ya dan Hok Tek Cin Sin (Dewa), dan Dhamma Sala berbentuk bangunan mirip candi berwarna hitam yang digunakan sebagai altar Buddha Gautama. Selain itu ada bangunan pura bercorak Bali yang digunakan untuk tempat peribadatan umat Hindu dan Musholla tempat beribadah umat Islam yang lokasinya diluar kompleks Vihara.
Pura tempat ibadah umat Hindu berukuran sekitar 3×3 meter. Di Pamekasan, sebenarnya jumlah penganut Hindu ini tidak terlalu banyak sebagaimana Islam dan Kristen, bahkan termasuk paling sedikit dibanding penganut agama lain. Kebanyakan dari mereka merupakan pendatang. Biasanya Orang Bali yang bertugas di Pamekasan ini. Pembangunan Pura sendiri, menurut Bapak Kosala, sebenarnya atas prakarsa Kepala Kepolisian Wilayah (Kapolwil) Madura yang berasal dari Bali dan menganut Agama Hindu. Dia yang menyarankan Bapak Kosala untuk membangun Pura di kompleks Vihara.
Bapak Kosala menjelaskan bahwa di depan bangunan utama vihara semenjak dahulu memang terdapat musholla, karena di setiap rumah keluarga Madura pada zaman dahulu umumnya terdapat langgar (musholla). Langgar, kata Bapak Kosala, awalnya merupakan tempat para keluarga beristirahat di siang hari seusai kerja di ladang atau tempat menerima tamu laki-laki. Biasanya terbuat dari kayu, dan bangunan berbentuk seperti rumah panggung, namun kadang juga berbentuk bale-bale. Oleh umat Islam di Madura, langgar biasanya dijadikan tempat untuk beribadah, seperti menunaikan shalat lima waktu, berdoa dan lain sebagainya. Jadi Bapak Kosala mengakui meskipun keluarga mereka beragama Budha, namun keluarganya sejak dulu juga memiliki langgar seperti keluarga-keluarga Muslim lainnya di Madura.
Sekarang, musholla ini biasanya dipakai beribadah pekerja kompleks Vihara yang mayoritas beragama Islam. Para pengunjung vihara yang beragama Islam juga biasa beribadah di Musholla tersebut. Selain dilengkapi alat-alat shalat seperti sarung, mukena, kopiah, juga ada beberapa eksemplar al-Qur’an dan juga tempat untuk berwuldu. Dari sebanyak 15 orang pekerja di Yayasan Vihara Avalokitesvara yang semuanya beragama Islam, tak satupun diantara mereka yang mengaku `risih` tinggal di lingkungan Vihara, meski dengan keyakinan yang berbeda.
Bapak Samud yang sudah bekerja sekitar 10 tahun lebih di Vihara sebagai tukang kebun ini mengaku, dirinya merasa nyaman dengan kehidupan disana. Bahkan ia mengaku bebas beribadah sesuai dengan keyakinan yang ia anut.
Lebih lanjut Bapak Kosala menjelaskan bahwa seiring dengan perkembangan zaman dan pergeseran budaya, serta tingkat kemampuan ekonomi masyarakat Madura yang kian membaik, langgar akhirnya menjadi kurang populer. Mereka yang memiliki uang cukup mengubah `langgar` dari yang awalnya hanya terbuat dari kayu menjadi gedung sehingga disebut dengan mushalla. Demikian juga halnya dengan `langgar` yang ada di lingkungan Vihara Avalokisvara tersebut. Dibanding dengan tempat ibadah umat Budha, mushalla yang ada ada di lingkungan Vihara Avalokisvara ini memang tidak terlalu besar. Ukurannya hanya 4×4 meter. Jarak antara tempat ibadah umat Islam (mushalla) dengan tempat ibadah umat Budha (Vihara) hanya sekitar 10 meter yang terbatas oleh dinding.
Menurut Bapak Imam Santoso, salah satu pengurus cihara, didalam kompleks vihara juga terdapat penginapan untuk tamu (peziarah) yang akan beribadah. Bapak Imam menjelaskan bahwa rata-rata pengunjung yang datang tidak hanya berasal dari Jawa Timur, akan tetapi ada yang berasal dari Medan, Lampung, Singkawang, Jawa Tengah, Jakarta, dan lain-lain, bahkan ada juga yang datang dari Luar Negeri. Selain itu, didalam kompleks vihara juga ada kantin, gedung aula untuk sarana kesenian dan olahraga, gedung pendopo untuk pementasan wayang kulit, dan tempat tinggal para Bhikku yang dinamakan Kuti. Lalu, di depan kompleks altar-altar tersebut, terdapat 2 bangunan pagoda yang menjulang tinggi seolah mengapit pintu masuk ke altar. Kedua pagoda yang didominasi warna merah menambah kemegahan vihara ini dengan ketujuh susunan ruas (lantai) ke atasnya.
Agama, Budaya dan Wisata
Bapak Imam menjelaskan bahwa karena memiliki sejarah panjang dan kekhasan inilah, maka Vihara Avalokitesvara sejak dulu menjadi tujuan warga Tionghoa dan umat Buddha lainnya. Tidak hanya pengunjung dari Jawa Timur, dari luar Pulau Jawa bahkan luar negeri pun kerap memanfaatkan kesempatan untuk datang bersembahyang di Vihara Avalokistevara atau yang dikenal dengan kelenteng Dewi Kwan Im Kiong. Kini, setelah adanya Jembatan Suramadu, jumlah pengunjung ke kompleks vihara meningkat pesat. Hampir setiap hari ada warga yang mampir ke Vihara Avalokitesvara di sekitar kawasan pantai wisata Talangsiring ini, baik sekedar melihat-lihat maupun khusus bersembahyang.
Vihara ini memang termasuk salah satu kelenteng yang sangat dikenal umat Tri Dharma Indonesia. Sebagai perwujudan ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan YME atas penemuan patung-patung Buddhis di Dusun Candi, serta untuk menghormati Dewi Kwan Im, Vihara Avalokitesvara secara rutin selalu menggelar peringatan hari-hari besar yang berkaitan dengan Dewi Kwan Im. Perayaan yang dilakukan tiga kali dalam setahun selalu diikuti ribuan orang dengan aneka atraksi menarik.
Memang tidak hanya urusan agama dan wisata. Di pekarangan vihara juga terdapat gedung dimana ada seperangkat gamelan untuk pagelaran wayang kulit. Menurut Bapak Imam, Gamelan dan pertunjukan wayang kulit sering di tampilkan jika para peziarah melaksanakan hajat. Selain itu terdapat gedung untuk pertunjukan wayang orang dan ludruk yang dilengkapi dengan panggung pertunjukan. Jika hari biasa, gedung itu digunakan untuk latihan bulutangkis bagi warga sekitar, tanpa dipungut biaya.
Kesenian rakyat yang paling digemari adalah wayang kulit. Yang paling mengesankan saat diselenggarkan festival wayang kulit semalam suntuk yang melibatkan 10 negara bahkan penyelenggaraannya dinilai sukses . Bapak Kosala menjelaskan ide awalnya muncul saat dia melihat di keraton Solo banyak pemainnya baik sinden, dalang dan penabuh gamelan orang luar negeri. Dia berharap agar ke depan festival wayang kulitnya tetap eksis dan dapat berkembang. Bapak Kosala menegaskan bahwa pemerintah juga harus memberikan dukungan pada kesenian agar tidak punah karena saat ini kaum muda banyak yang enggan untuk mempelajari kesenian utamanya wayang kulit. Padahal orang asing saja bisa dan senang untuk memainkan, masa generas mudah kita tidal bersedia. (www.pusakajawatimuran.com).
Vihara Avalokitesvara tidak hanya memiliki keindahan dan kemegahan pada bangunannya saja serta aktivitas sembahyang dan seni-budaya saja. Pesona alam yang indah di sekitarnya menambah nilainya untuk menjadi tempat ibadah sekaligus wisata. Vihara lokasinya memang berdekatan dengan pantai Talangsiring. Selain itu, sebelum memasuki kompleks Vihara, para pengunjung disuguhi hutan mangrove yang mampu meneduhkan pandangan. Tak heran, banyak para pengunjung yang datang ke vihara ini yang juga menyempatkan diri berwisata ke pantai Talangsiring.
Sebaliknya, tak sedikit pula para wisatawan yang datang ke pantai Talangsiring, berkunjung ke Vihara Avalokitesvara. Biasanya, pengunjung akan ramai datang ke vihara ini pada hari libur. Seperti akhir pekan atau hari libur nasional. Bahkan, vihara Avlokitesvara akan lebih ramai saat liburan Idul Fitri yang merupakan hari raya bagi umat Islam. Tak jarang wisatawan yang tujuan utamanya ke pantai Talangsiring juga menyempatkan diri datang ke Vihara dalam rangka berwisata.
Kepala dinas Kementrian Agama, Kabupaten Pamekasan menyatakan, keberadaan tempat ibadah umat agama yang berbeda dalam satu lingkungan, sebagai di Vihara Avalokitesvara ini, sebenarnya merupakan simbol nilai-nilai kerukunan umat beragama di Pamekasan. Bangunan tempat ibadah di Vihara itu bukan musium, namun ada fakta-sejarah yang terjadi di Pamekasan selama berabad-abad. Artinya kerukunan umat beragama bukan hanya sekedar wacana, namun sudah termanifestasi dalam kehidupan sosial sehari-hari masyarakat desa Candi.
Vihara yang dikelola oleh Yayasan Candi Bodhi Dharma ini, pernah menerima 2 kali penghargaan dari MURI (Museum Rekor Indonesia) pada 8 Agustus 2009, yaitu sebagai vihara terunik karena di dalamnya terdapat bangunan Pura dan Mushalla, dua tempat ibadah umat beragama yang berbeda yang penganutnya hidup rukun dan berdampingan. Penghargaan diserahkan oleh Senior Manager Muri, Paulus Pangka, bersamaan dengan dua penghargaan Muri lainnya, yakni pementasan wayang kulit 10 negara dan pementasan tari Liang-Liong yang penarinya ditampilkan oleh ibu-ibu berumur di atas 60 tahun.
Bahkan Bapak Kosala mengakui banyak mendapat saran, agar bukan hanya Mushalla dan Pura yang dibangun di Vihara itu, namun juga Gereja karena ada beberapa penganut agama Kristen di Madura sehingga mereka juga bisa datang ke Vihara Avalokitesvara untuk beribadah. Sementara itu, penghargaan yang satunya, sebagai pemrakarsa dan pelaksana pagelaran wayang kulit dengan pemain pendukung berasal dari 10 negara. Bagi pengunjung biasa maupun peziarah yang berkunjung di vihara ini, selain mengisi aspek spiritualnya juga bisa menikmati keindahan arsitektur yang bercorak khas China. (*)
Suratno Muchoeri: Ketua PCINU Jerman, alumni Universitas Gajah mada (UGM) Yogyakarta serta Jurusan Political Anthropology & Religion (Neue Diskurse zu Staat und Gesellschaft in der Islamischen Welt) di Goethe-Universität Frankfurt. Tulisan ini merupakan hasil penelitian penulis bersama Kemenag RI tentang situs-situs kerukunan beragama di Indonesia.
Berikan Balasan