Padamu Aku Lebur

Oleh Kuswaidi Syafiie
Pada suatu hari harimau mengajak srigala dan kancil untuk berburu binatang-binatang yang akan dijadikan santapan bagi mereka. Dengan semangat mereka menembus kekelaman hutan. Pandangan mereka begitu tajam menyisir kemungkinan munculnya buruan untuk diterkam.
Keberuntungan berpihak kepada mereka. Dalam hitungan waktu yang tidak terlalu lama, mereka bisa melumpuhkan sapi hutan, kambing hutan dan kelinci. Mereka bergembira mendapatkan buruan-buruan yang diidamkan. Kemudian, dengan keberanian dan kewibawaan yang dimiliki, harimau memerintahkan srigala untuk membagikan hasil buruan itu.
“Baiklah,” kata srigala dengan rasa percaya diri yang kuat. “Sapi hutan ini merupakan hasil buruan yang paling besar. Tentu ini cocok untuk tuan harimau. Kambing hutan sedang, tidak terlalu besar juga tidak kecil. Sudah pasti ini pantas dan pas untukku. Nah, kelinci ini paling kecil. Sudah pasti ini jatah untuk kancil.”
Cerita yang disodorkan oleh Syaikh Maulana Jalaluddin Rumi (1207-1273) dalam kitab Matsnawi jilid pertama di atas tentu saja semata merupakan tamsilan yang sepenuhnya bernuansa sufistik. Karena itu, ketiga binatang dan semua hasil buruan itu tak lebih hanya dipakai sebagai simbol-simbol konotatif terhadap nuansa-nuansa spiritual.
Lalu, jika demikian adanya, apakah sesungguhnya makna transendental harimau di hadapan binatang-binatang pemburu lainnya? Dan apa pula sebenarnya makna dari binatang-binatang hasil buruan tersebut?
Maulana Rumi, dengan paradigma sufistiknya yang sedemikian kental, memposisikan harimau rekaannya itu sebagai keakuan paling transenden yang melekat secara inheren kepada hadiratNya semata yang tentu saja tidak pantas disandang oleh siapa atau apapun yang lain. Suatu keakuan tak terhingga yang membuatNya layak untuk bahkan bersikap sombong sehingga Allah SWT itu menamakan diriNya dengan sebutan al-Mutakabbir sebagaimana yang termaktub dalam al-Asmaul Husna: suatu sikap keagungan yang sungguh seluruh makhlukNya dilarang keras untuk coba-coba mengenakanNya karena sama sekali tidak ada korelasi ontologis dengan mereka.
Sedangkan posisi binatang-binatang yang lain, baik yang memburu maupun yang diburu, adalah posisi-posisi keakuan majazi yang tidak lebih merupakan kiasan-kiasan semata. Bahkan seluruh makhluk, mulai partikel yang paling kecil hingga yang terbesar di alam semesta ini, hanyalah pantas menyandang keakuan majazi tersebut.
Lantaran itulah, setelah srigala rampung membagi-bagikan hasil buruan itu, tidak mempersembahkan seluruhnya pada harimau sebagaimana semestinya, dengan tandas harimau itu berkata: “Srigala, apa kau bilang? Ketika aku ini ada, pantaskah kau katakan bahwa dirimu juga ada sehingga berlaku sebutan “kami” dan “engkau”? Anjing macam apakah engkau hingga melihat dirimu ada di hadapan keakuanku? Keakuanku itu mutlak, sementara keakuanmu dan keakuan-keakuan yang lain hanyalah merupakan bayang-bayang yang begitu temaram, samar dan kusut.”
Dan dalam rangka mengembalikan keakuan srigala pada posisi yang semestinya itulah kemudian dengan bergas harimau lalu menerkam dan mencabik-cabiknya dengan taring-taring keakuannya. Artinya adalah bahwa selama kedirian siapapun dihuni oleh sikap kesombongan dan bangga diri yang kelam, dengan cepat atau lambat ia akan kesandung dengan kemahaan Allah SWT. Dia sungguh tidak berkenan kalau ada siapapun dari kalangan umat manusia yang usil dan sembrono mengenakan pakaian keagunganNya yang berupa kesombongan dan besar diri.
Bahkan dalam wacana dan paradigma kaum sufi diungkapkan bahwa ketika seseorang merasa ada, pada saat yang bersamaan ia sesungguhnya terjerembab dalam kubangan dosa. “Wujuduka dzambun la yuqasu ‘alayh/ wujudmu adalah dosa yang tidak bisa dianalogikan dengan apapun,” ungkap Rabi’ah ‘Adawiyah dengan getar spiritualitas yang final.
Karena bahkan merasa wujudpun merupakan suatu dosa dalam konteks kosmologi keilahian, maka sikap yang semestinya dimiliki oleh orang-orang beriman adalah menyodorkan kefanaan dan ketiadaan secara total kepada hadiratNya. Sebab, keberadaan mereka dan segala sesuatu yang ada di seluruh penjuru semesta ini tak lain hanyalah merupakan bayang-bayangNya, sama sekali bukanlah entitas-entitas yang secara otonom betul-betul memiliki diri mereka sendiri.
Maka menjadi jelas bahwa filosofi transendental dari sebuah penghambaan adalah penyerahan diri secara habis-habisan terhadap kemutlakan hadiratNya belaka. Apapun yang diperintahkanNya, baik pahit maupun apalagi manis, lakukanlah dengan setulus mungkin. Bahkan dengan perasaan hati penuh rindu, cinta dan ridha. Usahakan untuk tidak pernah mengangan-angankan pamrih apapun selain perjumpaan dan menikmati keindahan wajahNya. Karena keindahan wajah Allah SWT itu pasti menjadikan segala keindahan yang lain menjadi terasa pudar, hambar dan samar-samar.
Ya Allah, anugrahkanlah kepada kami kemirisan rindu yang mengiris-iris jiwa kami sehingga kami senantiasa terlecut untuk berlari atau bahkan melesat sekencang mungkin menuju keindahan wajahMu. Ya Allah, limpahkanlah kepada kami banjir bandang cinta suciMu sehingga segenap umur dan hidup kami senantiasa meluapkan berbagai dendang dan puji-pujian terhadap keindahan wajahMu. Bahkan ya Allah, jadikanlah kami lebur padaMu. Amin.

 


KUSWAIDI SYAFI’I: Pengasuh Pondok Pesantren Maulana Rumi Yogyakarta,. Tulisan ini kali pertama di unggah di akun Facebook pribadinya pada tanggal 20 September 2021