Megachiroptera

Oleh: Minhaji Ahmad 

‍‍‍‍‍Wuhan. ‍‍‍‍‍‍‍‍Sebuah kota di Cina, satu persatu warganya berjatuhan akibat virus Corona, virus mematikan yang penularannya sangat cepat dan belum ada obatnya. Sekarang Wuhan diisolasi, semua jaringan transportasi perkotaan ditutup untuk memproteksi penularan lebih jauh.

Kelelawar pemakan buah diduga kuat sumber dari malapetaka dan kesialan yang kini merenggut banyak nyawa itu, namanya, megachiroptera. Dari banyak informasi, megachiroptera, di Cina, salah satunya diolah menjadi sup kuah. Mungkin rasanya uwenak.

Megachiroptera, bentuknya lebih besar dari microchiroptera, kelelawar lainnya pemangsa serangga. Mungkin karena kesukaannya buah (buah apa saja, tak peduli halal atau haram), tubuhnya lebih segar. Karenanya, rumah makan di Wuhan, memilihnya sebagai menu makanan.

Padahal apa yang telah mereka konsumsi sebagai makanan sebenarnya virus yang membahayakan. Sekitar 41 korban meninggal, 1.287 lainnya tertular dan masih dirawat. Dan sekarang, Cina terguncang seperti sedang menghadapi kiamat.

Lima tahun terakhir sebelum kejadian di Cina sekarang, cerita tentang kelelawar telah viral di Indonesia. Semua usia, dari wilayah paling barat sampai ujung timur, telah akrab dengan nama hewan berkulit gelap ini. Di sini, orang lebih suka memanggil, kampret.

Kampret, dan megachiroptera di Cina, adalah jenis kelelawar yang sama. Hanya, di Indonesia, nama hewan yang bentuk mukanya menakutkan ini mashur karena menunjuk pada kelompok kontra Jokowi, di pemilu 2019. Bukan sebagai virus seperti di Cina.

Apa hubungannya dengan mereka? Sebenarnya tak ada. Itu hanya guyonan politik yang dibuat oleh pengguna media sosial agar vis a vis kedua capres terasa ada unsur menghiburnya daripada melulu serius, tegang, dan stres.

Namun satu hal. Soal kelelawar, apa yang terjadi di Cina terjadi juga di Indonesia, yaitu mengenai tindakan isolasi.

Di Cina, isolasi sebagai wujud pencegahan menularnya virus Corona dari kelelawar yang membahayakan. Sementara di Indonesia, beberapa orang kampret’s atau yang terinfiltrasi, “diisolasi” karena menyebarkan kebencian. (*)

Penulis adalah Bloger dan pengamat Sosial Budaya Kabupaten Pamekasan.