Oleh: A. Dardiri Zubairi
Debat soal warung kelontong (saya menggunakan istilah warung, sebagaimana orang Madura menyebutnya) asyik juga diikuti. Ini perdebatan yang sangat terbuka antar orang Madura (lebih spesifik lagi orang sumenep) soal kemaduraan, sesuatu yang jarang terjadi sebelumnya. Setidaknya melalui perdebatan ini ada kemauan orang madura untuk kembali memahami, menafsir, atau membaca ulang kemaduraannya.
Perdebatan kian asyik karena meluber ke media cetak Radar Madura yang menyediakan kolom opini. Ada dua sahabat saya yang sahut-sahutan saling menanggapi, Ach Syaifullah Saghara (ini tetangga saya, rumahnya cuma 300 meter timur rumah saya. Manggil dia pakai TOA kayaknya kedengaran banget). Satunya bapak Bahrur Rozy Lucky Lucky, tinggalnya beda kecamatan dengan saya. Dua-duanya saya sangat mengenalnya dengan baik, sebaik orangnya.
Saya mau ikut nimbrung mendisusikan soal warung klontong ini. Tak banyak data yang bisa saya tulis. Tak banyak argumentasi yang saya bangun. Tulisan ini hanya berdasar ingatan atas pengalaman saya ngobrol, sekilas mengamati apa yang terjadi di daerah saya sendiri.
Saya akan mulai dengan pertanyaan, ada dinamika ekonomi-politik apakah, hingga orang sumenep sejak era reformasi berbondong bondong ke Jakarta, sekarang meluas Bandung, Cirebon, Serang, Yogya, Semarang, surabaya dan kota besar lainnya?
Dulu ketika kuliah di Ciputat dekade 90-an sangat jarang orang Sumenep yang merantau Jakarta. Warung kelontong kebanyakan dijalankan oleh orang Jawa, Sunda, dan batak. Mungkin generasi pertama orang Sumenep ke jakarta berawal dari pulau Gili Genting. Mereka umumnya mukim di Cilincing Tanjung Periok Jakarta Utara. Teman kuliah saya asal Madura banyak yang mukim di situ. Umumnya perantau sumenep ketika itu jual alat alat bangunan yang barangnya (utamanya kayu) dipasok dari Kalimantan. Sisanya mereka membuka warung kelontong dan pekerjaam di sektor informal lainnya.
Berbeda dengan suadaranya, orang Bangkalan dam Sampang mudah dijumpai di sudut-sudut Jakarta. Jualan sate, bubur kacang ijo, tukang cukur, besi tua adalah jenis pekerjaan yang didominasi orang Bangkalan dan Sampang, mungkin sebagian juga orang Pamekasan.
Eksodus orang Sumenep ke Jakarta terjadi paska refirmasi, dimulai sejak 2004 yang didominasi orang Pulau Poteran. Kenapa poteran? Pulau ini dihuni oleh masyarakat yang umumnya petani dan nelayan. Ladang-ladang tadah hujan yang umumnya ditanami jagung lokal, kacang tanah, dsb tak juga mengeluarkan pulau ini dari jebakan kemiskinan. Hasil laut mungkin mengutungkan bagi pemilik perahu, tapi tidak bagi buruhnya. Apalagi di daerah ini ada perusahaan yang berinvestasi ikan teri. Memang daya tahan orang desa luar biasa, sebagai sampingan mata pencaharian utamanya mereka memelihara kambing, ayam, atau sapi. Bahkan pulau ini dulu dikenal sebagai sentra sapi lokal, meski sapinya tak sebagus Pulau Sepudi.
Sebelum eksodus terjadi, ada orang pulau poteran ini, sebut saja pak haji yang sudah berhasil membuka warung klontong di Jakarta. Sebelum mandiri, pak haji ini “ngernet” (jadi kenek sehelum jadi supir) sama orang Gili Genteng yang lebih awal merantau ke Jakarta. Secara ekonomi tentu orang in jauh dibanding masyarakat umumnya di Pulau Poteran. Apalagi orang ini sudah memiliki rumah permanen walau sederhana yang di lantai bawahnya dijadikan gerai warung kelontong di Jakarta.
Di pulau asalnya orang ini menjadi figur publik yang kemudiam menarik lainnya untuk berbondong-bonfong ke Jakarta. Paska reformasi, utamamya sejak tahun 2004 angka perantau terus meningkat. Sekedar gambaran, tahun 2014 perantau dari salah satu desa di pulau ini berjumlah 1.400 perantau. Ini baru 1 desa, pada hal pulau ini memiliki 7 atau 8 Desa. Ini diketahui ketika ada pendataan pemilih pilkades. Bayangkan, tahun 2021 berapa jumlah perantau asal pulau poteran ini? Tak ada data pasti, tapi yang jelas sangat banyak.
Keberhasilan perantau pulau poteran ini sangat mudah dilihat. Jika dulu pulau ini dicitrakan sebagai pulau miskin, saat ini sebaliknya. Rumah rumah besar dengan arsitektur terkini, lengkap dengan garasi mobilnya sudah terlihat sejak Anda baru memasuki pulau ini. Mobil dan motor berbagai merk telah menjadikan pelabuhan macet berjam-jam. Pulau ini sudah tidak lagi dicitrakan sebagai pulau miskin sebagaimana sebelumnya.
Keberhasilan perantau pulau ini mendorong warga Sumenep di kecamatan daratan khususnya untuk merantau juga. Awalnya kebanyakan menjadi penjaga warung kelontong milik orang pulau poteran. Seiring waktu, setelah mereka mengenal medan, paham tata kelola toko kelontong, punya keterampilan menggaet pelanggan mulailah mereka yang awalnya “ngenek” menjadi mandiri yang mampu membuka warung kelontong dengan modal sendiri.
Arus perantau di kecamatan daratan mengalami lonjakam tinggi bukan semata karena daya tarik kesuksesan perantau sebelumnya tapi juga dipicu oleh faktor ekonomi-politik, terutama hancurnya pertanian tembakau di akhir dekade 90-an, yang sebelumnya pernah menjadi penyangga penting bagi perekonomian warga Sumenep. Perputaraan bisnis tembakau yang triliunan tiap tahun telah membuka peluang kerja bagi banyak orang, termasuk efek domino bisnis ini bagi banyak orang yang berhubungan langsung dengan bisnis tembakau atau tidak, sejak dari sawah hingga warung makan dan jajanan, pasar, toko pakaian, dll memperoleh “berkah” dari perputaran bisnis tembakau ini.
Akhir dekade 90-an, puncaknya era reformasi, pertanian tembakau hancur. Harga anjlok. Bahkan ketika harga murah, banyak tembakau yang dibiarkan di sawah tidak dipanen, karena biaya panen tak sebanding dengan harga tembakau ketika dijual. Paska reformasi harga makin anjlok. Tak ada support kebijakam baik dari pemerintah pusat hingga daerah. Petani tembakau dibiarkan penyok bertarung sendiri dengan perusahaan rokok besar, baik nasional maupun asing yang seenak menentukan dan memainkan harga.
Nah, sejak itulah arus perantau di Sumenep ke Jakarta menemukan momentumnya. Di tanah rantau, sebagaimama menjadi karakter orang Madura, mereka sangat gigih. Jualan mereka meluber hingga emper warung yang tak mungkin tiap tutup-buka harus dimasukkan dan esoknya dikeluarkan kembali. Itu juga yang mengharuskan mereka buka 24 jam, menemani apotik dan (menyaingi) minimarket yang sebagian buka 24 jam juga.
Satu hal yang menggembirakan saya, orang Madura relatif mandiri. Ia kurang suka bekerja di sektor formal seperti di dunia industri. Ini bagi saya kekuatan di tengah kecenderungan investasi besar-besaran membangun industri dimana semua orang ingin diburuhkan. (*)
A. DARDIRI ZUBAIRI: Wakil Ketua PCNU Sumenep. Tulisan ini kali pertama di unggah di akun pribadinya (Facebook) pada tanggal 17 Juni 2021
Berikan Balasan