Oleh: Ahmad Wiyono*
Pada tahun 2021 ini, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) sudah berusia 67 tahun, sebuah angka yang relatif tua untuk ukuran usia manusia, itu berarti kedewasaan organisasi IPNU sudah tak diragukan.
Pada Hari Lahir (harlah) ke 67 ini IPNU mengusung tema “Transformasi Pelajar untuk Peradaban Bangsa”, tema ini manerik karena dari aspek usia IPNU memang sudah matang untuk menggagas terwujudnya transformasi pelajar menuju pelajar transformatif.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tranformasi bermakna perubahan rupa, baik itu dari bentuk, sifat, atau pun fungsi. Maka, transformasi pelajar adalah sebuah rancangan untuk menjadikan pelajar lebih dinamis, kritis dan adaptif, karena perubahan yang dimaksud bisa terwujud jika pelajar sudah mampu mereposisi dirinya dari sekedar objek pembelajaran menjadi subjek pembelajaran.
Saat ini harus kita insafi bersama bahwa pelajar (peserta didik) bukan semata mata hanya sebagai komoditas pendidikan yang dirancang sebagai tenaga siap pakai, jika itu masih terjadi maka pemaknaan pendidikan sebagai “pabrik” masih berjalan. Maka menurut Yudhi Latif, daya sintas dunia pendidikan tidak bisa mengandalkan pendekatan tantangan dan ancaman (treat based), tetapi harus dikembangkan berbasis penguatan kapabilitas (capability based).
Nah, capability based inilah yang menjadi salah satu ciri transformasi pelajar, di mana peserta didik mengembangkan dirinya berdasar daya kreatif dan daya kakakter yang dimiliknya. Sebaliknya pelajar atau peserta didik tak lagi dipaksa untuk hanya mengusasi keterampilan tertentu berdasar tuntutan kurikulum atau modul pembelajaran yang dimiliki oleh dunia pendidikan.
Transformasi pelajar idealnya merancang dan mebnetuk peserta didik menjadi manusia pembelajar, konsep manusia pembelajar menurut Andrias Harefa adalah belajar tentang (learning about), belajar melakukan (learning to do), dan belajar menjadi (learning to be). Relevansi konsep ini masih kuat hingga kini, maka tinggal reaktualisasi untuk menopang terwujudnya pelajar yang transformatif.
Manusia pembelajar, menurut A Ilyas Ismail sebagaimana menunjuk pada pemikiran James R Davis dan Adelaide B Davis, mencintai hal-hal baru, pemikiran baru, dan keterampilan baru. Ia belajar bukan hanya untuk mengetahui, tetapi lebih dari itu untuk berpikir dan memecahkan masalah. Maka, setidaknya ada lima ciri manusia pembelajar yang menjadi etos intelektualnya, yaitu Selalu ingin tahu, suka berbagi ilmu, rajin memperluas ilmu pengetahuan, berkontribusi untuk kemajuan ilmu dan kemanusiaan, serta punya sifat redah hati. Maka, di usianya yang ke 67, IPNU harus tampil lebih dewasa dalam mewujudkan manusia pembelajar, dan tidak sama sekali mencetak manusia sertifikat. Wallahu A’lam Bissowab. (*)
AHMAD WIYONO: Pegiat Literasi, Tinggal di Pamekasan Madura
Berikan Balasan