PKI dan Pengampunan Sejarah Dalam Dimensi Kemanusiaan

Oleh : Moh. Jufri Marzuki

Paman saya, di usianya yang semakin senja, pernah bercerita. Tentang perannya sebagai aktivis organisasi Ansor, sebuah badan otonom milik NU, di tingkat ranting. Saat itu beliau ikut serta membasmi antek-antek, pengikut dan kroni-kroni PKI. Bahkan, beliau dipercaya sebagai komandannya.

“Pangkottong”, adalah tempat pembantaian pengikut PKI di daerah beliau. Tepatnya di perbatasan antara Desa Bulumbungan dan Sentol, Kabupaten Pamekasan. Dahulu, tempat itu terletak di pedalaman, jauh dari perkampungan. Orang-orang menyebutnya sebagai alas atau hutan.

Di sana, para eks ‘pengikut’ PKI menjadi korban pembantaian, dibunuh atas nama jihad dan perjuangan. Tanpa prosesi pemakaman yang selayaknya dalam Islam, mereka langsung dikubur, dipendam dalam kondisi mengenaskan, di bawah timbunah tanah, di tengah malam yang gelap gulita.

Satu hal yang hingga saat ini membuat paman merasa berdosa, yaitu jika mengingat permintaan para korban sebelum ditikam dan dibacok leher belakangnya dari besi panjang berujung tajam. Mereka minta diberi kesempatan melafadzkan dua kalimat syahadat, sebelum ajal menjerat.

Betapa, beliau merasa telah membunuh saudara seagama, seiman dan satu Tuhan sesembahan. Karena meninggal dengan membawa iman dan Islam yang menurut ajaran agama, berhak untuk menjadi penduduk surga setelah dosa-dosanya dibersihkan. Wallaahu a’lam.

Yang lebih menyedihkan, adalah cerita salah satu pengurus Ranting NU Blumbungan beberapa hari yang lalu saat rapat pembentukan tim pembuatan KartaNU. Konon, Kiai Djufri Marzuki yang wafat di tangan antek PKI, pernah menyelamatkan salah seorang pengikut PKI yang tertulis namanya dalam daftar target operasi pembantaian oleh pasukan Lesbumi, Pagar Nusa dan Ansor. Yang bersangkutan dicoret namanya dari daftar target sebab memiliki KartaNU dan tercatat sebagai anggota NU Ranting Blumbungan.

Sedangkan indikator keterlibatannya di tubuh PKI, hanya karena menerima bantuan bibit/biji pohon jarak dan alat-alat pertanian dari pengurus PKI. Barang-barang itu diterima dengan senang hati, karena keawamannya tentang politik dan PKI. Yang dia tahu bahwa setiap pemberian adalah rizki halal yang harus disyukuri.

Begitulah kenyataannya. Mereka menjadi pengikut PKI karena yang mereka tau partai tersebut diakui oleh bangsa dan mengakui Pancasila dan UUD 45 sebagai dasar negara. Mereka menerima PKI sebagai partai para buruh dan pekerja yang mengusung misi pembelaan terhadap kaum petani dan pekerja kasar lainnya.

Komunisme yang anti agama, hanya mereka tau di Cina, Rusia atau Uni Soviet adanya. Sedangkan Komunisme yang dikembangkan oleh PKI, banyak diterima di kalangan kaum beragama, bahkan ada Ustadz dan Kiai kampung yang ikut mendukung, karena dianggap sebagai jalur demokrasi untuk menyuarakan aspirasi rakyat kecil, kaum petani, pekerja kebun dan kaum buruh.

Namun semua berbuntut buruk. Insiden pembantaian terjadi di setiap tempat. Paling fenomenal terjadi di Madiun, karena ideologi ini dianggap terlarang. Bahkan, menjadi kambing hitam terjadinya pembunuhan para jenderal, serta dicurigai akan melakukan kudeta kekuasaan negara yang saat itu dibawah kepemimpinan presiden Soekarno.

Para bekas kader-kader Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) yang merupakan organisasi sayap PKI ditangkap dan dijadikan tahanan politik (tapol) bahkan narapidana politik (napol) hingga jompo.

Di Jakarta, hanya keberpihakan Gus Dur pada perempuan-perempuan jompo yang menjadi korban Peristiwa 1965 tersebut, yang membukakan mata hati kita semua. Mereka dirangkul oleh Yayasan pengelola Panti Jompo, yang digerakkan oleh keluarga mantan anggota PKI yang sering dicap negatif. Tepatnya tahun 2004, Gus Dur meresmikannya.

Waluyo Sejati Abadi, nama panti jompo itu, menjadi saksi sejarah betapa luasnya bentang kemanusiaan Gus Dur. Di panti itu, perempuan-perempuan eks tapol yang direjam kesakitan pada masa Soeharto, menghabiskan usia dengan secercah cahaya.

Di hadapan mereka, Gus Dur memotivasi agar tekanan-tekanan masa lalu bisa luluh, berganti dengan keceriaan. Puluhan ribu atau mungkin ratusan ribu orang dipenjarakan karena dituduh ‘terlibat’ PKI. Banyak yang meninggal dunia dalam keadaan sangat menyedihkan, sedangkan yang masih hidup banyak yang tidak memiliki hak-hak politik sama sekali, termasuk hak memilih dalam pemilihan umum. Rumah-rumah dan harta benda mereka dirampas. Sementara, stigma mereka adalah pengkhianat bangsa tetap melekat pada diri mereka.

Seakan respon balik dari cahaya kisah kebesaran hati Gus Dur dalam menerima persaudaraan dengan keluarga mantan PKI, beberapa hari yang lalu kita tersentak dengan isu 1965 yang kembali memanas.

Pada akhir September kemaren, gelombang isu tentang komunisme, PKI dan Tragedi 1965 terus membahana. Di tengah pro-kontra gerakan nonton bareng film G-30S/PKI, Sebuah akun Facebook abal-abal bernama Muhammad Izzul menfitnah Ketua Tanfidziyah PC. NU Pamekasan sebagai simpatisan PKI. Viralnya hujatan ini, mengundang respon balik dari segenap warga NU Pamekasan dengan menggelar aksi damai mengepung gedung Markas Polres Pamekasan dan menuntut aparat penegak hukum agar menangkap pemilik akun tersebut, serta memproses secara hukum hingga tuntas.

Betapa, imaji tentang ‘hantu komunis’ masih menjadi bagian dari rentetan sejarah kekinian bangsa ini. Kita benar-benar butuh rekonsiliasi, sebagai Jembatan Kemanusiaan yang mengesampingkan dendam lama, rasa benci dan caci maki.

Dari serangkaian isu tentang tragedi 1965, yang penting untuk direnungkan adalah bagaimana membangun jembatan rekonsiliasi ini agar terjadi. Almarhum Gus Dur pernah mengupayakan rekonsiliasi nasional ini, meski mendapat pertentangan dahsyat dari pelbagai pihak. Keberpihakan Gus Dur terhadap korban 1965 sangat jelas. Gus Dur bergerak dalam dimensi kemanusiaan; beliau secara jelas membangun jembatan rekonsiliasi tersebut.

Banyak catatan media yang merekam permintaan maaf Gus Dur terhadap keluarga para korban peristiwa 1965, Meski tidak secara vulgar mengatasnamakan PBNU. Awak media pernah menjadi saksi ketika Gus Dur mengundang Pramoedya Ananta Toer yang notaben mantan napol karena dicurigai terlibat dalam gerakan PKI, ke Wisma Negara, 27 Oktober 1999. Setidaknya, dapat kita baca dalam buku karya Abdul Mun’im DZ, Benturan NU dan PKI: 1948-1965 (2014).

Kebesaran jiwa Gus Dur tidak hanya ditunjukkan secara langsung ketika meminta maaf, namun kemudian mengusulkan pencabutan TAP MPRS XXV/1966. Di hadapan Effendy Choirie, Franz Magnis Suseno, dan Noorca M. Massardi, Gus Dur berharap latar belakang sejarah di seputar 1965 harus dibuka secara gamblang. Hal ini penting, agar momen historis di sekitar 1965 tidak menjadi ‘kabut sejarah’ yang diwariskan dalam periode yang panjang.

Kabut gelap sejarah masa lampau Bangsa Indonesia memang layak disikapi secara jernih. “Begitu banyak rahasia menyelimuti masa lampau kita, sehingga tidak layak jika kita bersikap congkak dengan tetap menganggap diri kita benar dan orang lain salah. Diperlukan kerendahan hati untuk melihat semua yang terjadi dalam perspektif kemanusiaan, bukan hanya mengedepankan sikap ideologis”, ungkap Gus Dur dalam buku karyanya yang berjudul Islamku, Islam Anda, Islam Kita (2006: 157).

Kini, di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, muncul kembali isu lama ; berkembangnya paham khilafah dan ideologi komunisme. Keduanya, saling serang dan memojokkan. Seakan, semua berusaha cuci tangan atas dosa sejarah yang pernah dilalukan. Dalam konteks kekinian, keduanya menyisakan kepiluan; adanya keluarga mantan anggota PKI dan DI/TII yang dipandang anak biologis sekaligus ideologis para pengkhianat negara. Agar tidak berkepanjangan, maka ibarat konglomerat hitam, keduanya perlu mendapat pengampunan, dengan status release and discharge (bebas dari segala tuntutan). Inilah yang pernah dilakukan Gus Dur ; mengajak untuk memberi kesempatan yang sama kepada keluarga mantan PKI dan DI/TII.

Isu 1965 hanya akan menjadi ‘ranjau sejarah’ jika tidak ada upaya untuk mengawali langkah strategis menyelesaikan luka lama. Bangsa ini tidak akan bisa belajar dari sejarah, jika sejarah yang diwariskan gelap dan penuh misteri. Saatnya mematahkan warisan ingatan, dengan memulai riset komprehensif dalam bentang sejarah 1948-1965, yang dibarengi dengan keinginan kuat untuk rekonsiliasi nasional, rekonsiliasi untuk semua anak bangsa.


MOH. JUFRI MARZUKI: Alumni Pondok Pesantren Annuqayah,  saat ini aktif sebagai pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Pamekasan