Drama Politik Lokal Sumenep

Oleh. Zaitur Rahem

Pergerakan politik lokal Sumenep seperti terus menapaki puncaknya. Ketegangan dalam level teori dan praktik memperkuat bahwa momentum pemilihan kepala daerah kali ini merupakan pesta demokrasi yang sangat serius. Meski dalam ‘lalampan’ sebelumnya, setiap musim pemilihan selalu berjalan sangat serius. Gesekan antar pendukung, lobi sesama simpatisan dan kolega, mobilisasi suara dalam wacana klaim-klaim seperti badai salju turun membasahi bumi. Tak ketinggalan, para petinggi yang berkepentingan ikut turun gelanggang, menambah hiruk pikuk jagad perpolitikan lokal Sumenep ini.

Seperti pementasan drama kolosal, lahir sejumlah sutradara menabur alur cerita yang dialektis. Bahkan, jalan cerita dari satu ide ke ide sang sutradara dibikin maju-mundur, belok kanan belok kiri, salep kacer salep kanan. Membikin penonton bingung, ini cerita berkisah tentang apa sebenarnya?! Sulit menebak antagonis, protagonis, penari latar, dan bintang tamu. Semua pelaku tampil berperang, menabuh genderang dan seruling. Sama-sama menari sambil bernyanyi. Pokoknya, realitas ini meyakinkan pengamat dan penelaah bahwa inilah sesungguhnya yang disebut dengan pertarungan merebut tahta dalam level sangat krusial.

Seperti apapun ending sebuah cerita, kisah sudah ditulis secara nyata. Pergulatan ide dan gerakan dalam pentas politik Sumenep tahun ini sudah dimulai sejak beberapa bulan lalu. Bahkan jauh sebelum panitia penyelenggara menahbiskan dua pasangan calon Bupati dan Wakil bupati maju sebagai kontestan. Sejumlah tokoh penting sebelum pesta politik Sumenep digelar sudah selesai memetakan kekuatannya. Saat ini yang terlaksana sebatas melanjutkan catatan-catatan tersebut dalam wujud aksi kongkrit. Orang yang memahami realitas ini secara arif, akan melihat kenyataan ini sebagai sekolah politik paling menarik. Merusaknya dengan caci antar sesama saudara hanya menambah koleksi dosa dalam sejarah hidup bermasyarakat.

Jika diamati, selama ini ada dua tipologi masyarakat kita, pertama mereka yang santai menerima kenyataan hidup. Kedua adalah mereka yang menjadikan kenyataan hidup sebagai beban. Kelompok pertama adalah barisan orang-orang yang menyadari bahwa pertarungan ide, aksi, dan lobi dalam jagad politik sebatas ‘hiburan’ yang penting diambil pelajaran untuk menjadi tuntunan perjalanan berikutnya. Barisan pertama ini secara simbolis meyakini bahwa semua perbedaan pandangan, perubahan arah kebijakan dan keputusan sesutu yang lazim dalam iklim perpolitikan. Bahkan kelompok pertama juga sangat legowo dan wibawa menerima kekalahan sebagai bagian dari alur permainan. Sebab kekalahan bagi sebagian orang merupakan kemenangan dalam segmentasi yang berbeda. Pabelih ka takdir Allah, ada sejuta hikmah di balik peristiwa kehidupan umat manusia. Cara pandang barisan pertama menyadarkan publik tentang teologi paling substansial dari setiap kenyataan yang hadir dalam kehidupan ini.

Kelompok kedua adalah mereka yang secara mental dan intelektual belum memadai masuk ke ruang hiburan. Sebab, barisan ini hanya ambisi mendaulat diri sebagai pemberi jalan, bahwa yang mereka pertontonkan adalah hukum bagi yang menyaksikannya. Barisan kedua ini selalu memosisikan diri sebagai Pemangku dan melihat realitas sebagai ancaman. Orang lain dipaksa tidak boleh berargumen, jika harus berargumen setidaknya sesuai selera Pemangku. Apabila tetap berargumen dan (dianggap) tidak sesuai selera, mereka bergerak menempuh sejumlah jalur untuk memadamkan karakter dan kreatifitas pengargumen. Cara pandang barisan yang kedua ini, menjadi realitas menyedihkan dalam jagad politik tanah Sumenep. Sebab mereka mau menjadi Maharaja Kanza dalam lakon wayang kolosal bertajuk Radha-Krishna.

Perjalanan politik lokal Sumenep kali ini hampir usai. Tinggal beberapa minggu lagi, sang pemenang dari dua pasangan calon akan ditentukan. Apakah pasangan bupati dan wakil bupati pasangan calon 1 atau dua? Antara Pak Fauzi-Eva atau Pak Fatah Yasin-Kiai Ali Fikri? Kita tidak bisa berhalusinasi, karena ketentuan pemimpin itu sudah ditulis oleh takdir-Nya. (*)


ZAITUR RAHIM: Peneliti dan Akademisi, tinggal di Kabupaten Sumenep.