Cerpen: Iim Halimatus Sadiyah
Mungkin kita hanya perlu sering-sering ngopi sambil berbincang ke sana kemari. Duduk berdua saling memahami. Agar tidak ada yang pergi hanya karena salah memaknai diksi.
Sudah diakhir bulan sebelas. Bulan yang aku namai bulan perpisahan. Entah mengapa sudah tiga tahun berturut-turut perpisahan suka sekali menghampiriku pada bulan ini. Ya, aku tahu setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Hanya saja, aku selalu tidak siap dengan perpisahan.
Mery, Arman, dan Hendra, aku kehilangan mereka pada bulan November. Kebersamaanku dengan Mery hanya dua bulan, sebelum akhirnya dia meninggalkanku untuk selama-lamanya. Aku menemukannya sudah tidak bernyawa di aquarium bulat berukuran 2 liter. Kopi tubruk yang sedang aku bawa untuk dinikmati, terlepas dari tanganku. Jatuh ke lantai dan mengenai celana dan kakiku. Panas sekali, yang kemudian disusul rasa perih, juga sedih karena harus kehilangan ikan mas koki jenis black moor yang aku beli di pasar hewan.
Arman dan aku menghabiskan waktu bersama selama satu bulan. Lebih cepat dia meninggalkankudaripada Mery. Kali ini bukan ikan, melainkan hamster kerdil campbell yang berwarna coklat gelap. Dia meninggalkanku pada tanggal tujuh November tahun ini. Tidak ada insiden gelas kopi jatuh, tapi tentu sedih kembali menghampiri karena kehilangan hewan peliharaan yang aku cintai.
Tahun lalu aku kehilangan Hendra sejak November mengawali harinya. Hendra paling lama menemani hari-hariku ketimbang Mery dan Arman.Hampir sepuluh bulan ia selalu di sampingku, menemani saat aku butuh teman untuk ngopi, dan tanpa pernah bosan mengirim pesan, “Selamat pagi, jangan lupa ngopi.”Ia tidak mati, ia pergi.
Mahendra Wardana, namanya. Kekasihku. Maaf aku ralat, mantan kekasihku. Maaf juga kalau kalian mengira ia hewan peliharanku. Sungguh aku tidak bermaksud membandingkannya, aku hanya ingin bercerita tentang siapa saja yang meninggalkanku di bulan November. Itu saja.
Jangan tanyakan alasan Hendra meninggalkanku, karena saat itu dia pergi tanpa alasan. Hilang ditelan bumi. Lalu, kembali muncul setelah lima bulan berlalu. Tak ada kata putus sampai detik ini. Meski begitu aku anggap semua sudah berakhir sejak dia pergi tanpa permisi.
Ya, layaknya orang bersalah, tentu dia minta maaf padaku. Dia bilang tidak percaya diri, sehingga memutuskan untuk pergi. Alah, alasan basi.Harusnya dia tingkatkan kapasitas diri jika memang tidak percaya diri. Ah, sudahlah, kami juga baik-baik saja saat ini. Meski luka hati ini belum juga terobati.
Besok November berlalu, digantikan oleh bulan penutup selama setahun.Lalu, bersiap menyambut tahun baru sekaligus umur baru, satu perempat abad. Ah, cepat sekali waktu berlalu. Padahal, masih banyak yang ingin aku capai sebelum Desember berlalu. Seperti biasa, resolusi hanya sebatas tulisan. Beruntung masih ada yang berhasil dilaksanakan, seringnya berakhir sebatas pajangan tanpa bisa diwujudkan.
Malam ini, lamunanku yang ditemani secangkir kopi di sebuah kedai tiba-tiba buyar karena panggilan nomor baru tidak dikenal masuk. Aku tidak menjawab panggilan tersebut hingga tiga kali. Malas saja menjawab panggilan dari nomor asing. Lagipula, kalau dia memang ada keperluan penting pasti akan mengirim pesan terlebih dahulu. Kalau pun itu temanku, paling ujung-ujungnya aku diomeli karena tidak mengangkat telpon dari dia.
Aku bukan sok penting, melainkan menjaga diriku. Dua kali aku hampir jadi korban penipuan, satu kali modus minta kenalan, dan entah berapa puluh kali aku diteror dalam tiga harioleh rentenir online, gara-gara aku menanggapi telpon masuk menanyakan orang yang aku sendiri sama sekali tidak mengenalnya.
“Sa, ini aku Arin. Aku butuh kamu. Kamu lagi di mana?” tiba-tiba muncul pemberitahun pesan masuk. Tanpa menunggu lama, aku langsung menelpon Arin. Aku kesal, diluapkan dalam bentuk makian. Pulsaku tidak mencukupi untuk menelpon Arin. Tak lama, telpon dari Arin masuk. Kami mengobrol kurang dari lima menit dan sepakat akan berjumpa besok siangkarena aku harus bekerja terlebih dahulu selama setengah hari.
Di kedai kopi langgananku kami bertemu, bercerita hampir lupa waktu.
“Salsa, makasih ya sudah mau aku ajak ketemu. Aku butuh kamu. Aku butuh teman cerita, Sa,” Arin mulai menyampaikan tujuannya menemuiku.
“Iya, santai saja sih. Enggak usah sok enggak enakan gitulah. Sok, mau cerita apa? Aku dengerin sampai besok juga enggak apa-apa,” kataku
“Ah. Lebay kamu. Gini lho, Sa, aku dijodohin,” dengan wajah sedih, Arin mulai bercerita.
“Bagus dong. Bukannya impianmu ingin segera menikah?” tanyaku.
“Masalahnya, aku enggak suka. Orang tuaku memaksa. Sore ini aku orang yang mau dijodohkan denganku akan datang ke rumah, tapi aku malas menemuinya. Makanya aku ngajak kamu ketemu,” Arin terus bercerita, menyampaikan masalah yang sedang ia hadapi.
“Ya, ampun. Kalau enggak suka, tinggal bilang. Lagian, parah banget kamu ada orang mau ke rumahmalah pergi,” sambil menunggu jawaban Arin, aku menyeruput v60 yang telah aku pesan.
“Bodo amat. Tidak semudah itu menyampaikan, Sa. Kemarin, aku berusaha mengatakan kalau aku tidak suka dijodohkan. Aku mau menikah dengan laki-laki pilihanku sendiri. Eh, aku langsung dibilang anak durhaka karena berani melawan. Padahal aku hanya menyempaikan pendapatku, itupun dengan cara baik-baik.”
Arin kemudian minta tolong kepadaku untuk membantunya. Ia ingin aku menjelaskan ke orang tuanya, kalau dia akan menikah dengan pria yang sesuai dengan kebutuhannya. Sedangkan laki-laki yang dijodohkan denganya bukanlah laki-laki yang ia butuhkan. Arin berharap orang tuanya bisa mengerti dan membatalkan perjodohannya, jika aku yang mengatakan alasan kenapa Arin menolak dijodohkan.
Aku menolak. Ini adalah masalah yang harus dihadapi Arin sendiri. Bagaimana pun, ia sendiri yang harus berbicara dengan orang tuanya. Aku paham, tidak mudah untuk bisa mengungkapkan pendapat, apalagi selama ini Arin tidak pernah diberikan hak bersuara dan memutuskan sesuatu hal di keluarganya. Berbeda dengan kakak dan adik laki-lakinya yang dibebaskan untuk mementukan pilihannya sendiri dan diberikan kebebasan bersuara.
Hari ini, sudah aku jadwalkan untuk bermalas-malasan sambil ditemani lagu Di Penghujung Hari Minggu milik Mocca dan tentu saja secangkir kopi tubruk robusta kesukaanku. Aku hanya bisa membuat kopi tubruk di indekos karena itu yang paling mudah. Saat sedang menyeruput kopi, Ibuku menelpon. Aku sungguh malas mengangkat telpon dari Ibuku. Setelah empat kali panggilan masuk, baru aku angkat.
Sepanjang percakapan lima belas menit, aku lebih banyak diam dan berkata, “Ya.” Ibuku akan lebih lama lagi berbicara jika aku banyak menyangkal perkataanya. Ah, mood hari Mingguku tiba-tiba berantakan. Aku merebahkan tubuhku sembari memikirkan apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Aku gelisah. Bolak-balik tubuhku menghadap kanan dan kiri agar mendapatnya ide. Ternyata masih kosong. Mungkin aku hanya perlu menghabiskan hari Minggu dengan tidak memikirkan apa-apa terlebih dahulu.
Aku bangkit dan mengambil cangkir kopiku di meja belajar dekat tempat tidur.Lalu, kembali menikmati kepahitannya untuk menenangkan diri. Inilah alasan utama kenapa aku tidak mau membantu Arin. Aku sendiri sedang dihadapkan dengan perjodohan yang mati-matian aku tolak. Laki-laki itu bukan yang aku butuhkan. Malah aku jijik dengannya.
Orang tuaku jelas selalu mengatakan dia laki-laki baik dan cocok untukku. Padahal, mereka sama sekali tidak pernah bertanya laki-laki seperti apa yang aku inginkan, tapi sudah menyimpulkan baik dan cocok begitu saja.
Aku tak sudi menikahi lelaki dengan prinsip perempuan yang baik adalah dia yang diam di rumah dan mencetak anak-anak yang shalih dan shalihah. Hey, menjadi ibu rumah tangga atau perempuan karir adalah pilihan bukan paksaan. Perempuan bebas mau menjadi apapun tanpa harus merasa bersalah dengan pilihannya. Lagipulaaku butuh laki-laki yang mau tumbuh dan berkembang bersama, mau berbagi pekerjaan domestik, dan mau berbagi peran mendidik serta mengasuh anak. Bukan suami yang aku manfaatkan sebagai ATM berjalanku.
Kenapa sulit sekali menyuarakan penolakanku? Jangankan menyuarakan penolakan, menyuarakan pendapat pun susah. Perempuan saat bersuara dibilang pemberontak. Harus mau diatur tanpa bisa menolak. Tak pernah diberikan kesempatakan untuk menentukan pilihanya sendiri. Ah, susah sekali jadi perempuan. Ditambah terlalu banyak konstruksi sosial yang dibebankan kepada kami.
Tiba-tiba aku ingat sesuatu. Sebelum Hendra menghilang, aku sempat menceritakan seperti apa kehidupan pernikahan yang aku impikan kepadanya. Aku jadi berasumsi, mungkin alasannya tidak percaya diri karena mendengarkan ceritaku itu. Entahlah.
Aku kembali menikmati kopiku. Lagi-lagi aku tidak berdaya. Berusaha melawan, nyatanya kalah hanya karena kalimat, “Dasar anak durhaka.” Ya, aku harus kembali pasrah dan tidak bisa menikmati sepenuhnya hidup versi terbaikku. Akan tetapi, aku bisa terus menikmati menjadi puan dengan secangkir kopi untuk memulai hari, mencari inspirasi, dan menenangkan diri. (*)
IIM HALIMATUS SADIYAH: perempuan penikmat kopi yang lahir di Kota Mangga. Penulis buku antologi Perempuan Menulis (2019), Literasi untuk Negeri Jilid 1 (2019), Nusantara Berkisah 2: Orang-orang Sakti (2019), dan Perempuan Berdaya (2020). Dapat disapa melalui Instagram: @iimhs
Berikan Balasan