Oleh: Minhaji Ahmad
Pelabelan buruk kepada Kiai-kiai NU sudah biasa dilakukan oleh orang-orang yang tidak suka kepada NU, sejak dulu. PKI, Liberal, Syi’ah, adalah stigmatisasi agar nama baik Kiai-kiai NU hancur. Kasus yang menimpa KH. Taufik Hasyim dan KH. Pandji Taufiq, memiliki keserupaan dengan sebelum-sebelumnya; Gusdur dicap liberal, Kiai Said dituduh Syi’ah.
Di tengah framing keji, biasanya, muncul seseorang —yang sengaja dipoles— sebagai Ustadz maupun Gus. Di mana-mana ia diberi panggung untuk memperkuat fitnah (menyudutkan NU) bahwa ada tokoh agama terinfiltrasi komunisme, liberalisme, dan Syi’ah. Bulan lalu, misalnya, Alfian Tanjung menyebut Banser sebagai keturunan PKI (Tempo.co, 23/9/2020). Dan, kini Madura sedang dimulai;
Di media sosial, Ketua PCNU Pamekasan dituduh sebagai simpatisan PKI begitupun Ketua PCNU Sumenep. Sampang, Kiai salah satu Pondok Pesantren NU dituduh PKI. Akal sehat sulit memercayai bahwa semua ini merupakan guyonan semata, atau ledakan emosi sesaat sehingga yang bersangkutan salah tulis di akun facebooknya.
Penulis menduga pembunuhan karakter pada tokoh NU dengan menuduh simpatisan dari partai terlarang adalah bagian dari propaganda pembusukan NU. Menarik Kiai-kiai NU pada pusaran isu PKI seolah-olah ada hubungannya (afiliasi) dengan partai berlambang palu arit. Fitnah ini dilakukan terus-menerus agar diyakini sebagai kebenaran.
Paul Joseph Goebbels, pelopor dan pengembang teknik propaganda modern mengatakan, “Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya…”(Mohamd Sukri; 2015).
Merobohkan NU, organisasi yang didirikan melalui istikharah lagit Kiai Kholil Bin Abdul Latief Bangkalan ini, mustahil dilakukan secara berhadap-hadapan. Dulu, PKI telah mencobanya— berkonflik terbuka dengan NU. Hasilnya? Meski tidak sedikit Kiai dan aktivis NU jadi korban keganasan PKI, NU terlalu perkasa untuk dihancurkan.
Pembunuhan Kiai Jufri Marzuki di Madura, dan peristiwa 200 anggota Ansor yang diundang di sebuah gedung kemudian dibunuh oleh PKI di Banyuwangi, disampaikan KH. Taufik Hasyim dalam acara Rijalul Ansor PAC GP Ansor Proppo, adalah contoh kecil bagaimana partai berhaluan kiri ini secara radikal berniat menggerogoti kekuatan NU dengan cara menyerang langsung tokoh dan penggeraknya.
PKI, partai yang pernah besar di awal-awal kemerdekaan akhirnya para tokohnya berakhir sangat mengenaskan. Bahkan tak diketahui kuburnya. Anehnya, partai yang semula bernama Sarekat Islam Merah (sempalan Sarekat Islam) yang dulu sangat getol memusuhi NU, sekarang, malah dituduhkan kepada tokoh NU sebagai bagian, alias simpatisan PKI.
Melihat kasus yang menimpa simbol NU sekarang, ada kesamaan pola dengan yang dilakukan PKI. Meski tidak secara terbuka dan terang-terangan mereka menghembuskan fitnah di media sosial sangat sarkastis. Benar-benar “membunuh”. Sebuah gerakan yang menurut penulis sebagai tahap pertama sebelum dilanjutkan pada munculnya sosok seperti Alfian Tandjung pembenar kebohongan, sebagai gerakan tahap dua.
Tidak berlebihan jika ada yang menyebut sebagai new komunisme.
Kejinya Stigmatisasi PKI
Dulu ketika peristiwa G30S terjadi, banyak korban pembantaian atas nama anti komunis di Indonesia. Korbannya tidak hanya tokoh dan aktivis PKI, tetapi orang yang dituduh sebagai bagian dari PKI. Tak terhitung jumlahnya, orang yang tidak tahu apapun tentang PKI jika dicap sebagai PKI harus menerima segala konsekuensi yang sama.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh organisasi Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT) menyebutkan, mereka para korban mengalami pengalaman mengerikan dari perkosaan sampai penyiksaan bahkan sampai nyawanya dihabisi. Itu terjadi karena dituding sebagai PKI (BBC News, 11/10/2019).
Dituding sebagai PKI; apakah itu kader atau simpatisan jika tidak dibantai, maka pilihan lainnya dibuang ke pengasingan. (Detiknews, 4/10/2020). Inilah fakta sejarah bahwa label PKI (siapapun) dianggap sangat berdosa di negeri ini. Begitu berdosanya sehingga perlakuan terhadapnya sangat mengerikan.
Lalu, apakah tuduhan pada Ketua PCNU Pamekasan dan Sumenep orientasinya agar sejarah kelam berulang?
Meski sulit rasanya bayangan sejarah kelam itu akan terulang lagi, menjawab pertanyaan ini, kita perlu memahami tujuan propaganda dari Liliweri, baru kita bisa melihat tendensi penghembusan labelisasi PKI.
Pertama: Memengaruhi opini publik. Dihembuskannya tuduhan sebagai simpatisan PKI kepada Ketua PCNU secara masif di Madura dan berulang-ulang akan sangat mempengaruhi pendapat umum masyarakat Madura terhadap NU baik secara person pengurus maupun kelembagaan.
Orang Madura yang umumnya filternya lemah akan sangat rentan terhadap segala informasi yang beredar secara luas. Jika informasi yang buruk tersebut mengisi ruang publik secara terus-menerus, yang terjadi kemudian kuatnya prasangka buruk. Sebagimana informasi yang diterima telinga publik. Seperti yang, Goebbels, katakan.
Kedua: Memanipulasi emosi. Dahsyatnya dampak buruk informasi yang salah akan sangat riskan memengaruhi kondisi emosi dan kejiwaan masyarakat Madura. Tuduhan keji yang dialamatkan kepada Ketua PCNU dari dua kabupaten dan salah satu pengasuh pondok pesantren di Sampang, bila tidak segera ditangani, sangat bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan: a) penghakiman oleh masyarakat, b) NU akan dijauhi jamannya. (*)
MINHAJI AHMAD: Lulusan Magister Hukum Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Bangkalan. Alumni PKP Angkatan III PCNU Pamekasan
Berikan Balasan