Cerpen: Rikard Diku
Setelah digigit Anjing berkali-kali, kaki Junaidi berdarah dan tanpa suara ia menangis dalam hati sebab ini sudah tengah malam sedang bulan purnama masih tersenyum angkuh padanya. Aku masih mengintip lewat celah jendela kamar sambil tertawa kecil bercampur takut karena malam itu dua ekor Anjing milik pak Herman menjadi ganas tidak seperti biasanya dan Junaidi yang kesakitan pelan tapi pasti mundur beberapa langkah ke belakang dengan tangan yang terus berusaha mengusir Anjing di hadapannya sebelum ada lagi seekor Anjing yang disebelah rumah pak Herman kembali menyalak hebat dan aku tiba-tiba melompat ke tempat tidur dengan perasaan takut yang terlalu karena melihat cahaya putih yang menyilaukan mata persis muncul di belakang Junaidi yang kesakitan. Diam-diam dari dalam selimut, aku coba memicingkan mata melihat apa yang terjadi tetapi aku susah payah melihat karena lubang jendela terlalu kecil dan aku hanya melihat purnama meski Aada perasaan takut dan penasaran pada cahaya putih yang menyerupai jenis binatang yang paling besar. Setelah Anjing berhenti menyalak lamat-lamat sunyi yang lebat merambat ke seluruh wilayah kampung juga sampai ke dalam dadaku. Dalam tidur malam itu aku bermimpi yang bukan-bukan dan beberapa kali aku menemukan wajah Junaidi yang kesakitan dan lukanya yang menganga merembes darah merah seperti keadaan Lazarus si miskin dalam kisah Alkitab yang memungut remah-remah dari meja tuan yang kaya, kelak di akhirat si kaya akan sangat menderita hidup di neraka sedang Lazarus hidup bahagia di pangkuan Abraham. Aku sudah berjuang untuk membuang jauh-jauh wajah Junaidi dari kepala tetapi semakin aku berusaha keras menepis mimpi aneh itu tetap saja aku kembali menemukan wajah Junaidi tetapi kali ini wajah Junaidi menyerupai anjing galak yang siap menggigit punggung Rusa di hutan dalam suatu perburuan. Ini baru kali pertama aku memimpikan hal aneh yakni wajah manusia menjelma wajah Anjing liar. Sudah bisa ditebak bahwa malam itu aku susah tidur sampai Ayam membangunkan pagi dan aku sendiri menderita karena dicekik gelisah sampai dinihari lantaran dalam kepalaku seperti ada lebah yang ribut memunculkan wajah Junaidi yang kusut. Aku menerka-nerka kalau Junaidi juga sedang tidak aman atau barangkali ada apa-apa karena beberapa kali gigitan anjing membuatnya meringis kesakitan atau lebih-lebih sosok cahaya putih yang menyerupai binatang tiba-tiba muncul dan membuat suasana malam itu menjadi sunyi, Anjing berhenti menyalak sedang aku tak lagi mendengar suara huss..huss.. dari mulut Junaidi sebagai isyarat mengusir Anjing liar sialan itu. ada satu hal yang aneh, kenapa Junaidi tidak berteriak keras-keras atau meminta tolong ketika diserang Anjing. Mungkin ia menghargai warga yang sudah menuai mimpi atau barangkali ia tak mau menggagalkan mimpi basah kawannya yang berada di rumah seberang jalan. Atau jangan-jangan ia ingin menanggung derita itu sendiri saja tanpa ada yang tahu meski mungkin aku adalah satu-satunya yang melihat kejadian malam itu dengan jantung yang berdebar-debar. Apa pun pikiran yang menghantuiku, malam itu aku berharap ketika aku membuka mata, pagi cepat mampir di jendela dan aku segera menemui Junaidi dan menanyakan kejadian malam itu.
***
Pagi masih terlalu dini ketika kicau ceracau burung-burung di pepohonan menyapa matahari sedang beberapa bulir embun yang bening tanpa malu-malu loncat dari atap juga membentuk garis-garis tak beraturan di jendela kamar selebihnya masih sunyi. Seperti biasa aku akan membuka jendela, melihat sebentar mawar merah yang mekar di belakang rumah, memejamkan mata sebentar sambil membayangkan aku adalah kupu-kupu yang berterbangan di atas mekar bunga-bunga dan mencium wanginya berkali-kali tanpa henti dan kau adalah perempuan yang menyukai kupu-kupu dan berusaha menangkapnya seperti dalam sinetron-sinetron cinta Indonesia yang membosankan itu atau pagi-pagi begini biasanya aku akan berusaha mendengar nyanyian rohani paling merdu dari Lidya, tetanggaku yang cantik dan seksi itu. Sering ia menyanyikan lagu Ave Maria selain karena ini adalah bulan Oktober yang mengkhususkan kami untuk menghormati santa perawan Maria, wanita sahaja yang menjadi suri teladan keluarga-keluarga kami juga entah kenapa saban pagi Lidya dengan suaranya yang mampu menyentuh dasar hati menyanyikan lagu tentang Maria. Tapi pagi ini aku tak mendengar nyanyiannya karena samar-samar aku hanya mendengar tangisan paling pedih seperti elegi yang menusuk palung hati. Aku kaget dan coba menebak sumber suara itu. Baru saja ingin memfokuskan telinga aku mendengar bunyi sirene seperti pertanda bahwa ada kematian. Ini masih pagi dan sirene tak henti-henti meraung dari jauh dan aku gelisah sebab bagaimanapun juga sirene sedang menuju ke kampung kami dan tampak tetangga dekat rumahku sudah berhamburan keluar dari rumah menuju ke sumber tangisan yang memilukan itu. Kelelawar-kelewar juga keluar dari liang di sebelah selatan kampung dan terbang bebas diantara awan-awan sambil mengitari kampung kami, kelelawar selalu menjadi pertanda duka dan musibah menurut mitos yang sudah bertahun-tahun disemburkan dari mulut nenek moyang di kampung ini dan ternyata memang benar jika tiap kali sekawanan kelelawar keluar dari liang siang-siang hari atau pagi-pagi begini selalu saja ada musibah yang akan diderita oleh penghuni kampung. Entahlah apakah fenomena semacam ini masih disebut mitos? Aku tak tahu. Kelelawar seperti membawa pesan yang tak biasa dan membuat isi dada warga kampung tak tenang. Pernah aku melihat seekor kelelawar dengan jarak yang sangat dekat dan kau tahu aku baru sadar kalau muka kelelawar itu tidak bedanya seperti anjing piaraan kita atau seperti anjing liar yang menggigit Junaidi malam tadi. Ini juga satu alasan kenapa tetua adat di kampungku melarang warga untuk tidak memburu kelelawar malam-malam meski pisang dan pepaya milik warga kadang habis dimakan kelelawar-kelelawar itu. Akh, lupakan kelelawar yang mengerikan itu. Bukankah hidup adalah kehendak Tuhan untuk menentukan bukan binatang sialan yang memberikan pertanda aneh bin ajaib.
“Junaidi….Junaidi…Junaidi meninggal!”
Aku kaget bukan kepalang ketika mendengar teriak dari Lidya tetanggaku yang cantik dan seksi itu. Tanpa memikirkan apa-apa aku langsung bergegas ke rumah Junaidi. Baru keluar dari rumah, aku dicegat oleh Lidya.
“kak, kata orang-orang Junaidi meninggal karena digigit binatang buas karena banyak bekas luka di sekujur tubuhnya lebih-lebih di kaki.”
“apa? binatang buas?”
Aku tak mau bertanya banyak sebab dalam kepalaku bayangan peristiwa malam tadi masih melekat sangat erat. Tanpa banyak bicara lagi aku dan Lidya melangkah ke rumah duka, rumah Junaidi, rumah teman kelas kami yang rajin berdoa dan tidak pernah percaya pada mitos atau takhayul yang menurutnya hanya sebagai dongeng kosong yang pantas diceritakan kakek pada cucu sebelum malam mengatup mata dan tidur menjemput lelap. Langkahku yang sedikit berat karena hati sedang ditusuk panah rasa bersalah, yang pasti sakit sekali. Dalam perjalanan ke rumah Junaidi aku mengutuk diri sendiri. “kenapa malam tadi tidak keluar untuk membantu Junaidi? Andai aku keluar rumah pasti Junaidi tidak apa-apa.” Berontak hati nurani. Di rumah Junaidi sudah banyak orang yang berkumpul dan meratapi kepergian Junaidi yang masih muda sedang beberapa warga yang perempuan di luar rumah sibuk gosip tentang naas yang menimpah Junaidi dan aku bisa mendengar jelas bahwa beberapa kali mereka menyebut kata Anjing sambil menunjukkan raut muka yang ngeri, lagi-lagi perasaanku diliputi bersalah. Aku sempat masuk ke dalam rumah dan melihat Junaidi yang terbaring kaku, di tangannya yang katup dilingkari biji-biji Rosario sebagai simbol bahwa Bunda Maria akan setia menuntun perjalanannya menuju akhirat, dunia baru dan bahagia yang telah disiapkan Tuhan untuk umat-Nya. Sangat lama aku menatap wajah Junaidi sambil membayangkan kisah-kisah kecil kami sebagai teman sekolah juga teman sepermainan selama masa kanak-kanak. Tiba-tiba aku tak mampu membendung ada gerimis yang jatuh dari langit mataku dan untuk waktu yang lama aku menangis. Semakin banyak warga yang datang untuk ikut berdukacita bersama keluarga Junaidi, aku sendiri masih duduk diam beberapa langkah dari tempat Junaidi dibaringkan. Entah kenapa tiba-tiba ada yang tak biasa, aku melihat wajah Junaidi menjelma seperti anjing liar yang kutemui malam tadi, aku bingung juga bengong karena hampir saja aku berteriak histeris sebelum aku kembali menahan diri dan coba menguatkan hati kalau-kalau ini hanya semacam halusianasi atau karena efek kurang tidur semalam tetapi yang aku lihat tadi benar-benar nyata dan entah kenapa di balik dadaku denyut jantung yang berdetak tiap detik rasa-rasa semakin keras memukul dari dalam. Tak mau berlama-lama di sini, aku ingin pulang ke rumah meski ketika hendak pulang aku masih mendengar desas-desus dari warga yang berada di luar tentang Anjing liar yang sudah mencabik-cabik tubuh Junaidi padahal mereka tidak tahu apa-apa dengan kejadian yang menimpa Junaidi malam tadi. Dalam perjalanan pulang ke rumah aku memikul kesedihan dan rasa bersalah yang sangat, tiba di rumah semua rasa ini tumpah begitu saja dari pelupuk mata. Lagi dan lagi aku mengutuk dan membenci diri sendiri. “andai malam tadi aku keluar dari rumah dan membantu Junaidi!”.
***
Empat puluh hari setelah kematian Junaidi. Sore ini ketika adzan dari Mesjid yang terletak di sebelah timur ujung kampung berkumandang, bersama warga kami berdoa Angelus, biasanya di rumah-rumah warga yang Katolik tiap kali mendengar suara adzan pukul enam petang mereka akan mengajak anak-anak dan keluarga untuk berdoa Angelus. Kami di rumah almarhum Junaidi petang ini juga berdoa dipimpin oleh ketua Komunitas Umat Basis. Kami di sini hidup bersamaan dengan umat Muslim tetapi kami saling menghargai dan menjunjung tinggi toleransi sehingga diantara kami tidak pernah bertikai. Malam sudah jatuh di atap-atap rumah ketika usai berdoa Angelus kami menyiapkan diri untuk perayaan ekaristi empat puluh malam kepergian almarhum Junaidi yang dipimpin oleh seorang pastor yang buncit perutnya. Misa arwah di hari keempat puluh kematian Junaidi dihadiri banyak warga dari lingkungan juga stasi di paroki kami. Dalam kotbah pastor yang lumayan panjang, ia menjelaskan dasar biblis teologis tentang kehidupan baru setelah kematian juga memberi peneguhan kepada keluarga yang ditinggalkan. Acara empat puluh malam kepergian Junaidi malam itu diakhiri dengan makan bersama juga saling membagi cerita, yang paling banyak mengisahkan tentang kematian Junaidi yang dianggap keluarga dan warga sebagai misterius karena belum pasti menemukan Anjing siapa yang berani merenggut nyawa Junaidi atau apa sebab Anjing yang menurut mereka liar itu berani-beraninya menghabiskan nyawa Junaidi padahal baru beberapa bulan lalu tenaga kesehatan dari kabupaten sudah menyuntik Anjing-anjing warga agar tidak menjadi rabies. Aku tidak berani bercerita tentang kejadian malam itu, takut dibilang tidak berperasaan atau dikata-katai oleh warga dan tetangga. Sebagaimana biasa di kampung kami setiap empat puluh malam biasanya keluarga akan berkumpul di rumah duka selain merayakan ekaristi juga menunggu jiwa almarhum yang meninggal untuk datang dan bercerita tentang akibat kematiannya juga untuk berpamitan dengan keluarga, ini sudah sering terjadi karena selain kepercayaan warga juga adat istiadat dari para leluhur yang mengharuskan keluarga berkumpul di malam tepat empat puluh hari kematian. Aku tak bisa menyembunyikan kecemasan dan bergegas pulang ke rumah untuk tidak mendengar cerita almarhum Junaidi bila tengah malam ia datang untuk pamitan. Di rumah, aku susah tidur karena kepalaku masih menyimpan ingatan tentang kejadian malam di mana Junaidi digigit anjing. Ini sudah tengah malam dan lolongan panjang Anjing warga di luar rumah menambah ketakutan. Aku sudah berusaha berdoa untuk keselamatan jiwa Junaidi hari-hari belakangan ini dan malam ini entah kenapa angin terasa bertiup kencang sedang jendelaku tiba-tiba terbuka, dengan persaan was-was aku hendak menutup endela dan di luar aku bisa melihat dengan jelas wajah Junaidi yang menjelma Anjing liar. Setelah melihat itu segalanya menjadi gelap.
“malam itu kenapa kau tidak bangun dan membantuku? Kamu tidak salah, akulah yang harus menanggung semua ini. Kau tahu, malam itu aku tidak berdoa Rosario bersama warga karena aku menuju ke liang kelelawar dan membakar beberapa ekor kelelawar. Aku melihat kau mengintipku dari jendela ketika kau melihat anjing menyerangku. Oh ia, itu bukan anjing milik om Herman tetapi itu anjing jadi-jadian yang mengejarku dari liang kelelawar. Selamat tinggal kawan, doakan aku agar aku bisa tiba di surga dan ingat jangan main-main dengan Kelelawar misterius yang memabawa tanda-tanda musibah, atau kau mau menjadi korban bila mengganggu liang mereka.”
Ini sudah dinihari. Saat kembali mengingat-ingat mimpi bertemu Junaidi, aku kaget sekali ketika di luar rumah banyak warga membawa parang, obor juga benda-benda runcing sambil beteriak-teriak “bakar liang kelelawar…bakar liang Kelelawar…bunuh Anjing liar sialan itu. Bunuh…bunuh…bunuh!!”
Wisma St. Rafael-Ledalero, 2020
RIKARD DIKU: Mahasiswa Filsafat di STFK Ledalero-Maumere-NTT. Lahir pada 7 Februari 1999. Ia pecinta sastra, beberapa cerpen dan puisinya tersiar di beberapa Koran juga media daring dan dibukukan dalam beberapa buku Antologi).
Berikan Balasan