Lupa Daratan

Oleh: Mashuri Toha 

Maha kaya Allah. Allah telah berikan cuma-cuma kekayaan-Nya di bumi, tanpa angsuran. Sebagai modal dan kebutuhan dasar hidup makhluk-Nya. Berupa aneka tambang, buah, tumbuhan, air, sinar dan udara hingga ikan di laut. Kekayaan itu untuk semua makhluk, untuk ibadah.

Ditunjuklah manusia menjadi kholifah sebagai entitas di bumi. Dibekalinya akal, hingga memiliki sains, teknologi, norma, nilai, pola, life style dan aturan.

Kecerdasan akalnya mengantarkan pada penemuan yang mampu merubah dunia, mulai dari; mesin cetak, teleskop, mesin uap, plastik, telepon, pesawat terbang (1903), televisi (1926), layar sentuh, GPS, dan internet (1989). Revolusi Industri yang mengarah pada digitalisasi.

Di era milenium, ilmu pengetahuan terus berkembang, teknologi berubah, mulai dari arsitektur gedung pencakar langit, hingga kecerdasan buatan, rekayasa genetik, hati buatan (iPod/bio-artificial), cyber, autonomasi kendaraan, robotik, teleportasi, nano technology, super komputer, internet of things (IoT), bahkan mampu bikin virus.

Luar biasa. Sang penguasa bumi ini, mengeksplorasi alam sedemikian rupa, mengotak-atik anatomi biologi, bikin mesin kontrol hujan, bahkan menembus galaksi. Semakin canggih teknologi manusia, mereka semakin kekurangan ruang, waktu, jarak, sumber daya dan energi. Tidak betah di bumi, mau tinggal di mars.

Saat manusia bisa berbuat apa saja, saat itu mereka lupa, modal mereka itu apa dan dari mana?. Lupa bahwa modal dasarnya dari Allah. Peradaban yang mereka bangun, ada investasi Allah di dalamnya. Teknologi yang mereka buat esensinya untuk kepuasan. Tetapi, tetap saja tidak puas. Sampai lupa daratan.

Peradaban manusia mengusik spesies dan mengancam manusia itu sendiri, krisis kemanusiaan, penjajahan, mengeruk isi bumi, mempersempit ruang, memperdekat jarak, mempersingkat waktu, dan menghabiskan energi.

Revolusi industri semakin masif. Manusia tak mampu menghentikan peradaban, rekayasa teknologi dengan kecerdasan buatan, robotik akan terus diindustri. Itu, membutuhkan sumber energi. Minyak sebagai sumber energi dari fosil sudah mau habis. Tapi terus dieksplorasi hingga ke titik yang tersulit.

Jangan lupa daratan. Saat masa revolusi Industri 1.0 hingga 4.0, berapa milyar kubik tambang yang telah dihabiskan. Mereka tidak sadar telah melibatkan investasi Allah dalam rekayasa teknologi. Tapi, mereka masih saja mau melawan Allah. Pembuktian ilmu terus mendekat ke orbit matahari. Teleskop diarahkan untuk melacak gelombang gravitasi, bahkan mencari partikel tuhan. Tapi Allah membiarkan itu.

Saat unsur bumi susut, manusia tidak habis akal. Mereka beralih pada energi alternatif yang terbarukan. Kini, manusia memanfaatkan angin, sinar, gelombang air laut, dan panas bumi. Itu semua untuk eksistensi sains dan teknologi, untuk meningkatkan peradaban.

Informasi semakin terbuka, Ilmu pengetahuan tumpah ruah. Konten menjadi milik siapa saja, termasuk milik orang desa, content is the king, siapa yang punya konten yang lebih layak, maka dia yang laku. Informasi tak pandang kelas, orang desa mengakses konten di kota, dan sebaliknya. Terjadilah masyarakat urban, imigrasi dan globalisasi.

Informasi telah memobilisasi manusia, tak henti berlomba dengan waktu. Keterbukaan informasi memicu disrupsi, membuka ruang pertukaran kelas. Kelas bawah berupaya sekuat tenaga naik kelas, demikian sebaliknya, yang kaya tambah kaya atau jadi miskin karena seleksi kompetensi.

Era disrupsi merubah tatanan, pergeseran nilai dan ideologi. Uncertaintly, jungkir balik. Apa yang laku hari ini, belum tentu besok laku. Apa yang baik hari ini, besok belum tentu. Digitalisasi difusi informasi, sarat dengan konten ilmu pengetahuan. Meningkatlah jumlah orang terdidik yang berpengaruh pada tingkat konsumsi, gaya hidup dan pola hidup.

Studi Bank Dunia menyebutkan, jumlah kelas menengah di Indonesia 20 persen dari populasi, sekitar 52 juta jiwa. Angka itu terus bertambah. Kelas menengah menjadi penggerak utama perekonomian. Pada 2016, tingkat konsumsinya mencapai hampir setengah dari total nasional, yakni 47 persen.

Pola konsumsi mereka tidak hanya pada makanan. Berubah; ‘gengsi’ mereka tambah naik. Sebanyak 56 persen dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, perjalanan dan hiburan. Naik kelas, performanya sudah beda. Mereka fight, berani mengambil risiko memulai usaha, start-up. Mereka menciptakan lapangan kerja baru, sekaligus persaingan baru, bertaruh, bertaring dan bertarung.

Semakin kuat saja manusia mengeksplorasi kekayaan alam, di darat, laut dan udara untuk kemakmuran konsumtif. Tanpa batas, untuk memuaskan kemauan yang tidak terbatas. Negara kaya mengeksploitasi negara miskin. Yang miskin berupaya jadi kaya. Ada pula yang dipaksa untuk tetap miskin.

Terjadi ledakan konsumsi manusia yang menyebabkan penurunan 60 persen satwa, penyusutan hutan, lahan pertanian berkurang, tak peduli green energy, pemanasan bumi, dan perusakan ozon. Terjadilah defisit kehidupan.

Maka: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar. (Ar Ruum: 41). Itu firman. Tak peduli juga. Huh !. Lupa daratan. (*)


MASHURI TOHA: Alumni PMII Pamekasan, saat ini aktif sebagai Dosen di IDIA Prenduan Sumenep. Tulisan ini pertama kali diuanggah di GWA IKA PMII Cabang Pamekasan.