Resesi Dilihat dari Sisi Jembatan Suramadu

Oleh: Mashuri Toha

Ekonomi perlahan terus lesu dalam satu kuartal, dan jika minus pada kuartal kedua dan ketiga, itulah resesi. Pemandangan down side risk yang ada di mikro ekonomi, para pedagang di pasar pada mengeluh, susah dapat uang, jualan tidak laku. Barang hasil pertanian yang mereka bawa ke pasar dijual murah. Kata mereka; “asal barang berubah jadi uang”. Tapi, saat kondisi seperti ini, kok belum ada pejabat yang blusukan.

Asumsi tentang resesi sedang tertahan, pro-kontra, isunya dicicil, ini sedang resesi atau belum, tanda dan gejalanya belum sempurna. Anomali, tidak tampak secara umum tetapi beberapa elemen sosial sudah merasakannya. Pejabat tidak merasakan ‘susah uang’ dan ‘uang susah’, tapi rakyat sudah mulai melarat.

Resesi sudah melanda beberapa negara, termasuk negara tetangga. Singapura sudah menjerit, sedangkan Indonesia masih menahan. Saat terjadi kontraksi investasi, beranikah menambah hutang. Resesi, mana tahan.

Adanya pandangan bahwa, ada kekuatan ekonomi dunia yang tidak menghendaki kondisi ekonomi tetap established, sehingga dibuatlah kekacauan, melalui virus, karena isu SARA sudah tidak mempan. Pendapat yang demikian bukan tidak beralasan, dilihat dari tensi panas dingin perang dagang di tingkat global.

Panas. Bukan global warming saja, akibat penggundulan hutan, polusi dan meningkatnya rumah kaca. Tapi, panas karena upaya penggundulan potensi alam negara lain. ‘Newlib’.

Konfrontasi penguasaan wilayah ekonomi tidak terelakkan. Kapal perang AS-Cina di laut Cina selatan sedang terus berhitung-hitung untuk menyerang. Kalau terjadi perang beneran, yang dipojokkan lagi-lagi orang Madura. Akan banyak rongsokan sampah perang, karena urusan jual beli besi tua, orang Madura jagonya. Pesawat udara yang belum jatuhpun sudah bisa dihitung.

Kavaleri ekonomi. Sebelum pandemi Covid 19, terlihat para pemburu rupiah hilir mudik di Jembatan Suramadu. Saya heran dengan deretan mobil perusahaan itu, yang industrinya tidak di Madura. Ada truk fuso, tronton dan bahkan trailer, yang keluar masuk Jembatan Suramadu. Apakah itu bisnisnya orang Madura. Entahlah. Ragu.

Suramadu menjembatani kapitalisasi ekonomi yang tidak terjadi sebelumnya, saat orang Madura masih naik kapal ferry. Saat itu masyarakat Madura menolak industrialisasi, maka kini terjawab sudah. Ya, tidak ada industri, tapi, malah jadi masyarakat konsumsi.

Namun, begitu lockdown karena pandemi, hiruk pikuk kegiatan pebisnis tampak lengang, terjadi perlambatan kegiatan ekonomi. Jarak kepadatan mobil 1 Km rata-rata pada jam bisnis. Saat inipun, belum terjadi kenaikan signifikan jika dilihat dari aliran mobil distribusi.

Resesi sebagai turunan dari pandemi (perang virus) mengancam pemiskinan, pengangguran dan PHK. Karyawan perusahaan digaji separuh persen rerata, beberapa usaha tumbang. Maka akan banyak anak rantau pulang kampung. Hal ihwalnya, akan menyumbang problem sosial, dan menjadi asing jika perilaku di tempat rantau mengganggu pranata sosial yang ada.

Sementara, garam dan tembakau yang diunggulkan, dibeli dengan harga yang terhitung merugikan petani. Harga tembakau pada tahun lalu dibuka dengan harga Rp. 25.000 – 35.000 perkilo gram. Melorot dibanding tahun-tahun sebelumnya. Tembakau tak lagi menjadi daun emas, dulu menjadi komoditi andalan dalam mendongkrak perekonomian masyarakat Madura. Tingginya harga garam dan tembakau menjadi imun bagi masyarakat Madura.

Resesi berdampak pada rendahnya imunitas publik. Orang-orang dirumahkan, tapi tabungan yang sudah kempeslah yang memaksa untuk keluar. Maka aset tidurpun dijual, mulai dari rentengan emas yang menghiasi tangan perempuan Madura, hingga tanah yang dibeli dari hasil kerja TKI ke luar negeri, dijual. Semua tabungan itu tidak lagi bernilai sebagai investasi, malah dijual untuk kebutuhan konsumsi.

Walaupun, disisi lain, saya masih yakin orang Madura akan bertahan di tengah krisis, karena faktor penguasaan sektor riil yang sudah branding, seperti, soto Madura, sate, buah dan banyak UKM bahkan kaki lima, mereka unggul pada keuletannya, lebih maju di depan (toko) Cina.

“Cenah celleng”, itulah plesetan yang populer. Ya, tinggal menunggu penguatan SDM-nya, agar orang Madura tampil dalam konglomerasi ekonomi nasional.

Mau krisis atau resesi, orang Madura sudah biasa bertahan dan melawan, sudah didikan alamnya yang tandus. Hanya menunggu kreativitas personal dan proteksi ekonomi pemerintah regional (Madura Raya) dan nasional. Madura harus tangguh, karena pengulangan krisis akan terus terjadi dalam siklus ekonomi.

Karena kapitalisme ekonomi cenderung untuk tidak membuat ekonomi menjadi seimbang (equilibrium), antara kurva negara distribusi dengan negara konsumsi. Dan selalu muncul penguasaan ekonomi atas ekonomi yang lain.

Kapankah akan menghasilkan keseimbangan di ranah mikro, antara naiknya harga campur lorjhuk, rujak dan nasi bebek dengan jumlah permintaan, tetapi, faktor-faktor substitusi lain menjadi tetap (ceteris paribus). Kapan bisa sejahtera, bhejhreh parjhugheh. Kapan tukang bubur bisa naik haji?. Maka, konsep ekonomi Islamlah yang menawarkan keseimbangan itu, (*)


MASHURI TOHA: Alumni PMII Pamekasan, saat ini aktif sebagai Dosen di IDIA Prenduan Sumenep. Tulisan ini pertama kali diuanggah di GWA IKA PMII Cabang Pamekasan.