Aku Bukan Calon Bupati

Cerpen : Ach Jazuli

 

Kamu kok tidak percaya banget sih sama aku. Aku sudah bilang berkali-kali kalau semua kejadian tadi malam itu sama sekali di luar dugaanku. Aku tidak pernah melibatkan diri persoalan perencanaan pemasangan spanduk itu. Aku juga tidak tahu dari mana mereka mendapatkan foto-fotoku, belum lagi kalimat visi-misi yang begitu mengundang gairah tentu aku tidak bisa membuat kata-kata semanis dan menggugah seperti itu. Tadi pagi sehabis aku pulang dari masjid, aku juga kaget sebenarnya siapa dalang rencana semua ini. Kenapa rela menghabiskan uang untuk orang yang tidak penting sepertiku. Aku juga berpikiran, jangan-jangan orang-orang ini mau melecehkan martabatku atau, ah nggak tahu. Pusing aku mikirnya.

Sebenarnya yang paling aku pikirkan saat ini adalah keluargaku, kerabatku dan teman-temanku yang juga ikut percaya tentang peristiwa ini. Grup keluarga tiba-tiba ramai, teman-teman seketika banyak yang mengintrogasiku, bahkan mantanku yang selama ini sudah tidak peduli lagi juga menelfonku menanyakan tentang kebenaran semua hal ini. Aku makin pusing mau menanggapi semua ini, karena setiap kali aku jawab jujur satupun dari mereka tidak ada yang percaya. Bahkan keluargaku sendiri setiap kali aku sanggah mereka hanya bilang semoga sukses di kontestasi nanti nak, terus maju kami disini mendukungmu. Ah, ada apa ini sebenarnya.

Siangnya aku pergi ke sawah, niatnya mau melihat perkembangan padi, tapi sontak aku dikejutkan dengan baliho bagitu banyaknya berjejeran di sepanjang persawahan. Ada fotoku yang sedang menanam padi bersama orang-orang lengkap dengan jargonnya ‘Petani bersama Karyanto’. Aku semakin bingung. Ingin sekali tahu siapa sebenarnya palaku semua ini. Menyaksikan pemandangan di sawah kali ini, menjadikan semangatku hilang. Ingin sekali aku cepat-cepat pulang dan membaringkan badan di kamar sambil memandangi langit-langit kamar yang sudah mulai kusam.

Sebelum belok kiri masuk gang menuju rumah. Aku mengambil jalan lurus yang menuju arah pasar desa. Aku hampir lupa kalau aku harus beli kangkung untuk makan kelinci serta membeli telor pesanan ibuku. Di sepanjang jalan menuju pasar aku heran kenapa orang-orang melihatku tidak seperti biasanya. Seperti ada hal yang disembunyikan dariku. Tapi aku tidak mempedulikannya, aku terus melanjutkan langkah menuju pasar, hanya saja setiap ada orang pasti aku menyapanya walaupun tanggapannya tidak seperti biasanya.

“Pak, saya beli kangkungnya lima ikat, berapa?”

“Ini, nak” Kata bapak separuh baya itu sambil menyodorkan kangkung kepadaku
“Ini, Pak. Uangnya”

“Tidak usah, nak” Katanya sambil tersenyum memperlihatkan giginya yang kuning padaku.

“Lho, jangan, Pak. Nanti bapak rugi” Ucapku seraya tetap menyodorkan uang padanya
“Tidak, nak. Anggap saya ini sedekah bapak” Dia tetap tidak mau terima uang dariku
“Kalau begitu, terimakasih banyak, pak”

Bapak itu tiba-tiba tersenyum seperti ada kebanggaan tersendiri dalam dirinya. Aku juga membalasnya dengan senyuman walau aku tidak paham apa maksudnya. Dalam benak semoga bapak ini berkah rezekinya. Kemudian, aku melanjutkan belanjaanku. Dalam otak masih kepikiran tentang sikap orang-orang sekitar terhadapku. Apa ini ada hubungannya dengan baliho di gang rumah dan di sawah tadi. Ah, tidak mungkin. Mereka tidak mungkin tahu tentang hal ini. Aku terus berjalan, dan ketika sampai di pintu keluar pasar. Kecurigaanku ternyata benar. Di sebrang jalan pasar juga ada baliho fotoku kira-kira ukuran 3×5 meter. Memakai kaos putih bertopi merah sedang menyambangi para pedagang pasar. Pun, lengkap dengan tulisan ‘bersama Karyanto mari sejahterakan ekonomi dengan memberikan jaminan kestabilan harga pasar’. Seketika keringatku langsung mengguyur seluruh tubuhku. Panas dingin rasanya. Siapa sebenarnya pelaku ini semua.

Aku menundukkan kepala bergegas pulang ke rumah hingga sesampainya di rumah aku lupa kalau telor pesanan ibu belum aku beli. Aku terpaksa bilang maaf ke ibuku karena lupa tidak membelinya tadi. Aku langsung masuk ke kamar. Membaringkan badan dan memejamkan mata. Pikirku berjalan kemana-mana, berkeliaran tak karuan. Entah, ini apa ini namanya kalau bukan teror. Tapi buat apa neror orang sepertiku yang memang kehidupanku sama sekali tidak pernah terjun ke Parlemen pemerintahan. Tiba-tiba sekarang baliho yang memuat fotoku banyak terpanpang di semua tempat.

Tidak terasa sekian lama aku bicara sendiri di kamar, ngelantur tak karuan. Suara corongan masjid sudah ramai dengan qori’, nida’ dan bacaan-bacaan sholawat lainnya menandakan sebentar lagi akan tiba waktunya adzan magrib. Aku beranjak dari kamar dan langsung menyucikan diri untuk pergi ke masjid menunaikan sholat berjamaah. Masjid yang tidak jauh dari rumahku sehingga cukup beberapa langkah saja sudah sampai. Setelah selesai sholat sunah qobliyah tiba-tiba ustad yang biasa menjadi imam di masjid mempersilahkanku untuk menjadi imam sholat magrib. Aku kaget bukan kepalang. Ada apa lagi. Kok makin aneh saja kehidupan ini. Yang jelas aku menolaknya dengan beribu bahkan berjuta alasan. Bukannya tidak bisa jadi imam, cuma seumur-umur aku tidak pernah menjadi imam di masjid ini. Dan anehnya lagi mulai dari dulu tidak pernah ustad menyuruhku menggantikan dirinya, bahkan sekalipun dirinya berhalangan hadir sudah ada yang biasa menggantikannya yaitu marbot masjid. Aneh sungguh aneh. Setelah semua ritual selesai aku kembali di panggil oleh ustad.

“Sini dulu, Mas. Saya ingin ngobrol bareng sampean”

“Oh, ya ustad. Ada yang bisa saya bantu” Tanyaku heran sambil membalikkan diri dan mendekati ustad.

“Begini, Mas. Ngomong-ngomong, Mas sudah sampai dimana persiapannya”

“Persiapan apa, ya ustad” Aku makin heran

“Sudahlah, terus terang saja. Saya sudah tahu semua kok tentang maksudmu tahun ini” Sambil tersenyum kepadaku

“Kamu tahun ini mau nyalon kan” Lanjutnya.

Sumpah, mendengar kalimat terakhir itu. Aku kaget. Ternyata ini bukan isu kecil. Ini tidak boleh dibiarkan. Hal ini harus segera di cari akar rumputnya. Siapa sebenarnya dalang dari semua ini. Apa sebenarnya maksud melakukan semua hal ini padaku. Seingatku aku belum punya masalah pada orang lain apalagi dengan orang-orang elit politik. Aku mencoba menjelaskan yang sebenarnya terjadi tapi ustad tidak pernah percaya padaku, malahan dia menawarkan massa padaku dengan beberapa kontrak. Aku tidak tahu harus bicara apa lagi. Aku langsung beranjak dari hadapan ustad.

“Mohon maaf sebelumnya ya ustad. Saya buru-buru masih ada urusan. Perihal masalah ini yang penting saya sudah jelaskan yang sebenar-benarnya” Aku mencium tangannya dan beranjak.

Tepat di samping masjid ternyata juga sudah ada baliho besar berdiri tegak dengan fotoku mengenakan baju putih dan songkok nasional juga lengkap dengan tulisan di bawahnya ‘religius dan nasionalis’. Aku semakin geram. Ingin sekali aku memarahi orang yang telah berbuat sedemikian rupa. Kalau merasa dirugikan secara materi, tidak. Cuma ini masalah kehidupan pribadiku dan konflik sosial di sekitarku. Semua orang-orang seketika memperlakukanku dengan cara yang tidak normal. Berbeda dari sebelum-sebelumnya. Aku lebih dihargai, banyak yang menawarkan pertolongan serta semuanya jadi murah senyum. Bukannya aku tidak suka. Tapi aku lihat semua yang diperlakukan terhadapku ini bukan tindakan nurani tapi banyak embel-embel lain di baliknya. Makanya aku sangat merasa tidak nyaman dengan hal ini. Belum lagi dengan aku yang memang tidak pernah tahu persoalan ini dan ketika dijelaskan ke orang-otang tidak ada satupun yang percaya terhadapku. Pusing pokoknya.

***
Mentari yang terbit kemerah-merahan dari ufuk timur. Aku hirup udara segarnya dalam-dalam berharap semoga hari ini sudah membaik dan tidak ada masalah lagi. Aku mengambil pupuk dan langsung berangkat ke sawah tanpa sarapan dulu karena biasanya aku makan setelah pekerjaan di ladang selesai semua. Sebenarnya aku masih malas yang mau ke sawah karena akan menyaksikan baliho teror di sepanjang hamparan sawah. Tapi mau gimana lagi saat ini sudah waktunya padi-padi harus di pupuk. Setelah semua pekerjaan hampir selesai tiba-tiba ada 3 orang berseragam hitam memakai id-card menghampiriku. Aku tetap menabur pupuk di tengah sawah hingga pada akhirnya salah satu dari mareka menyapaku.

“Selamat pagi, pak” Ucapanya sambil memegang buku dan HP di tangannya.
“Apakah bisa kami meminta waktunya sebentar untuk wawancara pak?” Lanjutnya

Aku yang kaget dan bingung berjalan mendekati mereka lalu menanyakan siapa, darimana, maksudnya apa dan kesini di suruh siapa.

“Kami ini wartawan, pak dari media online mau mewawancarai bapak terkait kesiapan bapak dalam pencalonan bupati tahun ini”

Mendengar penjelasan dari mereka saya langsung ketawa walaupun dalam hati berkata ternyata isu ini sudah menyebar luas.

“Emangnya siapa yang mau nyalon. Saya tidak ada niatan sama sekali. Lagian saya tidak tahu apa-apa terlebih mengenai politik” Ucapku di sela-sela tawa menggelegar.

“Kalian kan sudah lihat sendiri, pekerjaanku setiap hari cuma ke sawah, kalau malam nimbrung koloman dengan orang-orang desa. Itu saja. Jadi sangat tidak mungkin kalau saya mau nyalon bupati” Pungkasku.

Sedemikian detail aku jelaskan, tapi masih saja mereka menganggap kalau aku ini menyembunyikannya.

“Begini saja, seandainya benar saya mau nyalon, siapa yang akan milih saya. Tidak ada yang kenal dengan saya kecuali tetangga sekomplek itupun tidak semuanya. Jadi tidak mungkin orang seperti saya mau nyalon bupati”.

Setelah itu aku pamit duluan dari hadapan mereka, bilang kalau aku mau melanjutkan pekerjaan. Menabur pupuk pada tanaman padi. Takut kesiangan dan matahari semakin menyengat. Padahal ini hanya alasanku untuk tidak berlama-lama dengan mereka, karena percuma juga meskipun aku jelaskan panjang lebar tetap saja mereka tidak percaya.

***
“Nak, tadi siang waktu kamu di sawah, ada teman-temanmu kesini lima orang. Katanya mau ketemu denganmu. Mereka mau jadi tim suksesmu katanya” Ucap ibuku sambil menyiapkan makan malam di ruang makan.

Aku memang sengaja pura-pura tidak menghiraukan. Aku tetap saja fokus ke laptopku browsing tentang penanganan hama tanaman padi, karena aku lihat tadi siang beberapa petak sudah mulai rusak.

“Emangnya kamu sudah ada tim sukses tah? Kalau tidak ada ibu rasa mereka cocok jadi tim suksesmu. Karena mereka kan teman-temanmu jadi tidak mungkin mengkhiyanatimu, nak”

Ibuku makin menjadi-jadi bicaranya membuatku semakin tidak konsen dengan bacaan di laptopku.

“Kalau sudah beres aku mau makan duluan, bu. Aku lapar sekali, seharian aku tidak makan” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan ibu, karena aku tahu meskipun ditanggapi ibu tidak akan percaya padaku.

“Ya, sudah makan. Tapi nanti kamu hubungi teman-temanmu itu ya. Kasihan mereka, nanti ibu dikira tidak menyampaikan salam mereka”

“Ini ikan hasil tangkapan bapak kan, bu?” Kembali aku mengalihkan pembicaraan berharap ibu tidak membicarakan isu tidak jelas ini lagi.

***
Siang yang cukup cerah aku berencana untuk pergi ke rumahnya Anton, temanku dulu waktu aku jualan gorengan di kota. Dia sering membeli gorengan ke warungku. Hampir setiap malam aku bersama dia. Banyak hal yang aku ceritakan padanya, sehingga diantara kita sudah tahu satu sama lain. Dia seorang pengamat politik aku menyebutnya, tentu dia paham mengenai masalah yang menimpaku ini, jadi aku mau minta tolong ke dia untuk membantuku menyelesaikan permasalahan ini, terlebih kalau bisa aku tahu siapa pelaku di balik lahirnya isu ini.

Sekitar jam dua siang aku sampai di rumahnya dan langsung memanggil salam. Syukur dia langsung keluar, padahal selama diperjalanan, tadi aku sempat khawatir takut dia tidak ada di rumahnya, karena dia memang suka melanglang buana, pindah dari warung kopi yang satu ke yang lainnya. Jadi jarang sekali dia ada di rumahnya. Ya, maklum lah dia masih sama sepertiku belum berkeluarga, jadi masih bebas mau kemana saja.

Setelah kurang lebih sepuluh menit aku dengannya bercengkrama mengobati rindu karena sudah lama tidak bersua, aku mencoba memulai mengutarakan maksud kedatanganku ke rumahnya, namun ketika aku mulai bicara dia malah membawaku ke kamarnya. Disana ternyata sudah ada teman-temanku yang kemarin sempat datang ke rumah tapi tidak bertemu denganku. Aku kaget, kok bisa anton kenal dengan teman-temanku, padahal aku tidak pernah memperkenalkan mereka.

“Kok kalian bisa disini? Kalian kenal Anton?” Tanyaku penasaran

Mereka hanya tersenyum seakan-akan menertawai kekagetanku.

“Kalian kapan sampai disini? Ada keperluan apa kesini?” Aku susul pertanyaan lain walau yang tadi belum mereka jawab.

Tiba-tiba Anton memotong pembicaraanku. Dia menjelaskan panjang lebar mulai dari dia dan temanku bisa saling kenal hingga maksud kedatangan teman-temanku ke rumahnya. Dan yang bikin aku tidak nyangka, ternyata dia dan teman-temanku sudah tahu kalau aku mau ke rumahnya. Aku mulai curiga jangan-jangan mereka adalah dalang dari semua isu ini. Kalau memang benar mereka yang merencanakan ini semua. Apa untungnya bagi mereka. Ah, sungguh bikin aku tambah pusing.

“Lalu, apakah kamu juga tahu masalah yang menimpaku saat ini” Tanyaku memotong pembicaraan Anton.

Dia tersenyum lalu menyalakan rokoknya. Santai sekali sikapnya membuatku semakin tambah penasaran.

“Ayo, jawab Ton” Aku menyuruhnya dengan nada agak tinggi.

Brakk.

Tiba-tiba Anton meletakkan tumpukan kertas di depanku. Cukup tebal kira-kira sebanyak satu rim.

“Ini semua adalah data tentangmu. Aku kumpulin dan kerjakan ini semua sekitar 3-4 bulan yang lalu. Aku sengaja tidak memberitahumu tentang ini semua karena aku ingin tahu lebih dalam lagi tentang kepribadianmu”.

Aku tidak ngerti apa yang dia bicarakan. Aku hanya bisa mengerutkan dahi.

“Aku ingin kamu maju dalam pencalonan bupati tahu ini, To. Semua persiapan dan strategi sudah aku urus semua. Sekarang tinggal pernyataan sikap dari kamu dan selanjutnya tinggal melakukan pencitraan sebanyak-banyaknya” Lanjut Anton mulai serius.

“Kamu jangan becanda. Aku serius Ton. Jadi benar kamu adalah dalang dari semua isu ini?”

“Dari hasil data yang aku kumpulkan. Kota ini butuh orang yang sepertimu, To. Makanya, aku dan teman-teman bersikukuh optimis untuk mendorongmu maju dalam kontestasi tahun ini”

Aliran darahku mulai tak terkontrol. Aku tidak tahu lagi mau berucap apa. Mau marahpun sudah tak berdaya. Sungguh ini peristiwa sangat jauh dari jangkauanku.

“Terserah kalian saja. Aku sudah pasrah” Aku menghela nafas panjang

“Cuma begini, sekalipun aku terpaksa harus maju dalam kontestasi tahun ini, sebenarnya yang harus dipikirkan terlebih dahulu adalah hal apa yang akan dilakukan ketika sudah sampai, sebelum membicarakan strategi apa yang akan dilakukan untuk bisa menang. Hal ini tentang menjadi pemimpin yang setiap elemen masyarakat akan menaruh harapan besar terhadap pemimpinnya baik mulai dari jaminan keselematan hingga jaminan pemberdayaan kelangsungan hidup, bukan hanya persoalan mengganti kursi lalu bisa rekreasi sesuka hati”.

Kali ini diantara mereka semuanya serius begitupun aku.

“Pun, seandainya aku terpaksa mempunyai kesempatan berdiri di atas mimbar, aku tidak akan berkoar-koar menyampaikan visi-misi manis nan menggoda jikalau pada akhirnya masyarakat menjadi korban pemerkosaan intelektual para elit politik”.

Sumedangan, 18 Juli 2020


ACH. JAZULI: lahir di Sumenep pada tanggal 22 April 1999 dari pasangan suami-istri; Ningwar dan Masriya. Pendidikannya ditempuh di berbagai tempat. Pendidikan dasarnya diselesaikan di SDN Tambaksari 3, SLTP dan SLTA-nya di tempuh di lembaga pondok pesantren, yaitu di LPI Darul Ulum Prongpong, kemudian perguruan tingginya konsen di program Studi Tadris Bahasa Indonesia fakultas tarbiyah IAIN Madura. pria yang beralamat di dusun Bajik RT. 013 RW. 004 Desa Tambaksari, Kec. Rubaru, Kab. Sumenep ini bisa dihubungi melalui telepon 081717372012 atau e-mail Ajhazelmazry106@gmail.com