Oleh: Mashuri Toha
Ekonomi dunia rontok hingga minus 5 sampai 7 persen. Dahsyatnya corona, negara maju terdampak paling parah. Aktivitas ekonomi diperkirakan pulih, tumbuh positif pada tahun 2021. Lama kali.
Begitu lama manusia dirumahkan sebab corona. Berawal dari masalah kesehatan, bereskalasi risikonya pada multi sektor, baik pendidikan, periwisata, budaya, sosial, dan ekonomi, serta tak luput juga agama.
Virus ukuran nano 0,124 mikrometer bikin ribut dunia. Virus sekecil itu telah mengkerdilkan negara adikuasa, dan menundukkan keangkuhan nyali manusia. Ini baru globalisasi virus, belum globalisasi asap, dukhon.
Masyarakat terbelah tiga; ada yang takut virus, ada yang biasa saja tapi waspada, dan ada pula yang tidak percaya. Apapun mereka, ya tetap dirumahkan. Menahan aktivitas, berarti menahan konsumsi, maka akan menekan ekonomi. Keinginan manusia yang tak terbatas menjadi terbatas.
Anak-anak rindu sekolah, karyawan ingin kembali bekerja, silaturahim dan persahabatan ingin kembali berdekatan, bisa berpelukan, berciuman. Sudah tidak betah lagi, ingin segera bebas beraktivitas. Kapan ya corona berakhir.
Ingin tetap istiqomah ibadah. Mereka menggedor-gedor pintu masjid, karena mereka telah menggantungkan hatinya pada masjid, memaksa masuk, saat pintu masjid ditutup.
Mereka bukan tidak percaya atau berani pada virus. Tetapi ‘manisnya iman’, melebihi rasa takutnya pada virus corona. Mereka, tentu terjaga thoharohnya dengan wudhu, kedisiplinan diri untuk memperhatikan rukun wudhu, sebagai syarat sahnya sholat. Yakin, mereka steril, suci.
Di saat inilah kita semakin percaya pada pentingnya kebersihan yang diajarkan Islam, tidak hanya bersih lahir, tapi bersih hingga ke batinnya. Corona mengingatkan itu, karena tuhan senang.
Kontraksi investasi. Gara-gara corona, pertumbuhan ekonomi tertekan hingga minus. Mandek, domestic demand dan luar negeri melambat. Investasi sektor riil domestik maupun asing saling menunggu perkembangan ekonomi. Tapi ini masih resesi, belum krisis.
Bagaimana cara mengatasi resesi?. Nikmat Allah yang manakah yang kau dustakan?
Pemerintah dibikin kelimpungan. Untuk menghadapi resesi setidaknya dengan tiga kebijakan; moneter, fiskal dan kelola keuangan. Ketiganya diterapkan apabila kestabilan ekonomi terganggu, kebijakan itu dilakukan untuk memulihkan.
Beberapa ahli menyebutkan bahwa vaksinlah satu-satunya obat resesi dunia. Padahal sebelum pandemi sudah ada gejala resesi.
Nikmat Islam. Islam punya cara untuk keluar dari resesi dan krisis ekonomi. Yaitu, zakat, infaq, shodaqoh dan shodaqoh (ZISWAF). Bahkan umat Islam mampu berperilaku qona’ah ataupun zuhud.
ZISWAF adalah solusi krisis multi dimensional itu. Ajaran itu, memiliki maqoshid, yaitu keseimbangan. Disitu ada charity, filantropi dan social responsibility.
Tetapi landasan dan keyakinan apa yang mampu menggerakkan untuk melakukan itu, karena ini bukan negara Islam.
ZISWAF membangun relasi antara si kaya dan si miskin. Putusnya relasi, akan menimbulkan ketimpangan. Dalam moneter Islam, tidak boleh menumpuk harta. Pola hidup qona’ah dan hemat adalah ajaran, prioritas konsumsi primer (hajiyah dhoruryah). Optimistis, ajaran Islam itu menjadi solusi, bisa keluar dari resesi.
Nikmat Indonesia. Indonesia punya cadangan alam yang patut disyukuri untuk ketahanan pangan, konsen pada kearifan lokal, hindari bergantung pada kemewahan industri, manfaatkan pekarangan rumah, dan mengolah sawah lebih produktif. Saatnya kita kembali ke alam.
Corona menjadi musuh dunia, tapi kita bisa berdamai dengannya. Globalisasi menjadikan dunia tak ubahnya seperti kampung. Tapi kini, corona lebih membatasinya, manusia menjadi makhluk rumahan. Globalisasi tak ubahnya ‘dunia tak selebar daun kelor’.
Mereka yang tangguh resesi dan krisis, yang menganggap ‘dunia’ ini kecil, bisa berdamai dengan permainannya. Hidup hemat, qona’ah dan zuhud. Karena bagi mereka, kehidupan akhirat lebih kekal. (*)
MASHURI TOHA: Alumni PMII Pamekasan, saat ini aktif sebagai Dosen di IDIA Prenduan Sumenep. Tulisan ini pertama kali diuanggah di GWA IKA PMII Cabang Pamekasan.
Berikan Balasan