Indonesia Masih Setengah Merdeka

Oleh: Musannan

Kemerdekaan Indonesia telah banyak mengalami adaptasi bergantung situasi dan kondisi yang terjadi di Indonesia. Merdeka awal mulanya dipopulerkan oleh para pahlawan kita dalam menghadapi penjajahan, baik penjajahan Belanda, Jepang, dan sekutu-sekutunya. Merdeka tidak semerta lahir begitu saja dalam suasana yang santai dengan sacangkir kopi dan sebatang rokok dalam sebuah diskusi, seperti kebiasaan aktivis dan para tokoh lainnya. Namun, ia lahir dari sebuah ledakan semangat dalam kondisi menghadapi dua pilihan di medan perang, hidup atau mati.

Kemudian kata itu dideklarasikan oleh sang proklamator kemerdekaan Republik Indonesia, Presiden pertama Indonesia yaitu Ir. Soekarno, pada saat membacakan teks kemerdekaan Republik Indonesia. Kata merdeka yang dikobarkan dengan semangat itu hanya ingin menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai keinginan yang sangat kuat untuk menjadi negara yang berdaulat, karena pada saat yang bersamaan para penjajah masih berkeliaran di Indonesia. Dengan kata merdeka itu menjadi semacam kata kunci untuk tetap menjaga kedaulatan, dan kedamaian Indonesia; menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia.

Seandainya Indonesia tidak segara memroklamirkan kemerdekaannya, maka mental merdeka rakyat Indonesia, dan mental penjajah Belanda masih sama. Rakyat Indonesia masih merasa belum merdeka dan penjajah masih merasa menguasai Indonesia. Sebait kata, dalam teks kemerdekaan itu yang betul-betul mengantarkan Indonesia dalam kemerdekaannya. Dengan berani mengatakan bahwa Indonesia harus bebas dari segala bentuk penindasan yang tidak sesuai dengan perikemanusiaan.

Penjajahan dalam bentuk perang fisik sudah berakhir. Mari, kita bersama mengucapkan “terima kasih” kepada para pahlawan kita yang telah mengorbankan jiwa dan raganya demi kemerdekaan kita. Kenapa kita? Sebab, kitalah yang hari ini sedang menikmati hasil jerih payah para pahlawan itu. Perang fisik sudah selesai, sehingga kita harus banyak bersyukur atas limpahan rahmatNya.

Namun, masih banyak perang yang harus kita hadapi dengan semangat merdeka seperti yang telah dilakukan para pendahulu kita. Semua itu masuk dalam dua poin besar: pertama, perang pemikiran dengan orang non-Indonesia; kedua, perang mental dengan pejabat Indonesia. Perang pemikiran dimaksud adalah bagaimana orang luar mencekoki rakyat Indonesia dengan produk pemikiran mereka. Produk pemikiran mereka adalah, bahwa Indonesia dapat dihancurkan dengan budaya bebas seperti budaya mereka. Bebas menjadi pecandu obat terlarang, bebas melakukan seks bebas, bebas berpakaian, bebas bersaing secara ekonomi, dan lain sebagainy. Dengan begitu, apabila bangsa kita betul-betul mengikuti arus pemikiran yang mereka cekoki, maka tunggulah kehancuran Indonesia.

Berikutnya, memerangi mental pejabat Indonesia. Mental pejabat yang dimaksud adalah mental korupsi yang sudah menjadi bagian dari Indonesia. Mental korupsi di Indonesia ini sudah mendarah daging dan sudah memutuskan urat malu para pejabat. Dikatakan putus urat malunya, sebab ketika mereka sedang kedapatan dan tertangkap melakukan perbuatan yang dianggap sebagai kejahatan luar biasa untuk diperangi itu, pejabat kita masih bisa tebar pesona dengan senyum yang menawan. “Jhe’ pas etapogheh ngara colo’en,” itu kata seorang teman.

Mental poligami juga cenderung menjadi penyakit bagi pejabat kita. Ups, poligami sebenarnya tidak termasuk penyakit mental. Masih relatif dan debatebel di masyarakat kita. Tetapi, budaya kita masih melihat poligami sebagai budaya yang masih tabu. Dan urusan poligami saya pasrahkan kepada yang lebih kompeten dalam urusan poligami ini. Seperti yang sempat diopinikan mau diperdakan itu.

Sebenarnya memerangi korupsi pejabat kita, sama dengan memerangi kemiskinan. Kemiskinan berbanding lurus dengan tingkat korupsi para pejabat. Seandainya tidak ada korupsi, maka tidak ada kemiskinan di Indonesia. Mari, perangi segala bentuk penyimpangan yang ada di negara tercinta ini, untuk mencapai kemerdekaan sejati, kemerdekaan yang tidak hanya berada di atas kertas dan baleho-baleho yang besar. (*)


MUSANNAN: Sekretaris Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (LESBUMI) PCNU Pamekasan. Penulis juga aktif sebagai tenaga pendidik di MTs. Bustamul Mubtadiin Pangorayan Proppo Pamekasan.