Kenapa Khilafah Tertolak?

Oleh: Mamang M Haerudin

Berbeda dengan idelogi lain, termasuk komunisme, ideologi khilafah itu otomatis tertolak. Khilafah–terutama yang diusung Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)–berangkat dari kesembronoan dan kepongahan, dengan secara tiba-tiba hendak mengganti Pancasila, menentang UUD 1945. Oleh para pengasong khilafah, konsensus kebangsaan dan pedoman kenegaraan dituding sebagai thagut. Ini sikap yang sangat biadab. Ideologi khilafah ini sangat brutal dan terlarang. Tidak aneh jika kemudian di banyak Negara, Hizbut Tahrir dilarang keberadaannya.

Berbeda dengan di Indonesia, para pengasong khilafah masih bebas berkeliaran dan berdakwah. Pemerintah kita masih tidak tegas. Masih setengah-setengah. Mestinya aksi penolakan dan demonstrasi besar-besaran itu terjadi bukan menolak ideologi komunis, tetapi ideologi khilafah HTI. Jadi patokannya begini, ideologi apapun sepanjang masih menghormati Pancasila, ia secara otomatis bisa diakomodir. Hanya memang pengasong khilafah itu dakwah mendapatkan simpati karena didukung oleh para tokoh agamanya yang pandai berbicara, sekalipun ilmunya minim, berikut juga akibat perilaku koruptif para pejabat kita.

Ya khilafah otomatis tertolak. Ia sangat berbahaya, mengatasnamakan Islam tetapi sesungguhnya mencederai Islam itu sendiri. Apa sebab? Islam tidak pernah punya sistem suksesi yang secara teknis mengatur. Islam hanya berbicara prinsip atau inspirasi sebuah tatanan Negara yang ideal, misalnya mengandung unsur keadilan, musyawarah, persatuan dan lain sebagainya. Sebab dalam urusan dunia, Nabi Saw., sendiri mengatakan, “Antum a’lamu bi umuri dunyakum.” Kalian lebih tahu urusan dunia kalian. Termasuk di dalamnya urusan teknis dan sistem suksesi.

Kalau saja HTI dakwah dan propaganda khilafahnya tidak brutal, tidak asal main men-thagutkan demokrasi, menolak NKRI dan hendak mengganti Pancasila, saya yakin HTI akan mendapatkan sambutan yang luar biasa dari masyarakat Indonesia. Ideologi apapun di dunia, pasti punya kelemahan. Salah satu di antara kelemahan itu adalah masih maraknya perilaku korupsi. Selain hukuman yang tegas, mental para pemangku jabatan juga mestinya harus kridibel. Lihat di Negara China, padahal mayoritas penduduknya bukan Islam, ketika dilantik jadi Perdana Menteri China pada 1998, Zhu Rongji menyatakan, “Berikan saya 100 peti mati, 99 akan saya kirim untuk para koruptor. Satu buat saya sendiri jika saya pun melakukan hal itu.” Zhu tidak asal bicara.

***

Kesalahan fatal yang dilakukan HTI adalah bicara sejarah Islam tidak oleh orang yang berilmu. Oleh karena itu, alih-alih khilafah HTI dianggap sebagai bagian dari sistem Islam, mereka yang justru malah tidak paham sejarah atau malah anti sejarah. Khilafah HTI hanya diminati oleh orang-orang awam, yang hanya mengandalkan emosi tobat dalam mempelajari Islam. Bukan dari kalangan santri dan terpelajar yang literatur keislamannya kuat. Selain juga diisi oleh orang-orang yang tidak mendapatkan tempat–lebih tepatnya kedudukan–dalam Pemerintahan, orang-orang yang juga frustasi akan realitas sosial yang kompleks, tetapi tidak sabar dalam melakukan transformasi sosial.

Para eks HTI mungkin khilaf, bahwa NKRI itu merupakan khilafahnya Indonesia. Salah satu ijma’ dan ijtihad politik kebangsaan para ulama. Para ulama dan pendiri bangsa ini memahami betul betapa Indonesia merupakan Negara yang penuh dengan perbedaan dan keberagaman. Sehingga Indonesia memang tidak perlu mendasarkan sistem ketatanegaraannya hanya berdasarkan agama tertentu. Indonesia itu Negara-bangsa, bukan Negara-agama, bukan pula Negara Islam, Negara Kristen dan seterusnya. Betapa repotnya kalau masing-masing pemeluk agama di Indonesia menuntut Pemerintah untuk mengganti NKRI menjadi Negara berdasarkan agama masing-masing. Kacau!

Maka dari itu, di bawah payung NKRI, semua agama setara. Baik Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Bundha dan Konghucu, semuanya mempunyai kedudukan yang setara. Sehingga Islam meskipun menjadi agama mayoritas di Indonesia, tidak boleh sewenang-wenang hendak memaksakan Islam sebagai bentuk Negara. Termasuk Perda-perda syariah (formalitas) tidak boleh diberlakukan di berbagai daerah. Bedakan antara syariat Islam dengan Perda Syariah. Syariat Islam itu asalnya dari Allah, sementara Perda Syariah merupakan produk politik para anggota dewan yang punya kepentingan tertentu.

Walhasil, dengan sendirinya khilafah ala HTI memang tertolak. Produk khilafah HTI bukanlah sistem ketatanegaraan yang pernah dipraktikkan Nabi Saw., dan para sahabatnya. Khilafah HTI hanyalah ambisi dan nafsu untuk merebut kekuasaan NKRI yang sah. Khilafah HTI hanya kedok untuk mengelabui sebagian umat Islam untuk membenci Pemerintah yang ada. Asal kita tahu, di Negara manapun, tidak ada yang tata kelola Pemerintahannya ideal 100 persen. Selalu saja ada anomali dan perilaku koruptif. Kita harus kompak dan sabar membenahinya, bukan malah membuat sistem Pemerintah tandingan yang sama sekali tidak berdasar keilmuan yang otoritatif. Wallahu a’lam. (*)


MAMANG M. HAERUDIN: Koordinator Nasional Program Menulis (literasi.id), penulis juga aktif sebagai pengurus Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Cirebon Jawa Barat. Tulisan ini pertama kali diunggah di group literasi.id.