Apa Kabar Tanda Tangan Palsu

Oleh: Musannan

“Buku baru adalah buku yang belum pernah dibaca.” Itulah kalimat yang pernah saya sampaikan kepada para kader saat memberikan materi (dulu). Kita tahu bahwa buku berisi tentang beraneka informasi ilmu pengetahuan yang akan diserap sebagai sebuah pengetahuan baru apabila ia sudah dibaca. Sehingga baru dan tidaknya sebuah buku bukan karena baru selesai dicetak dan diterbitkan, melainkan apakah buku itu sudah kita baca. Terbit tahun berapapun jika belum dibaca, maka itu masih dikatakan baru dalam perspektif kita masing-masing.

Selain itu, saya juga pernah menyampaikan bahwa, “Tidak ada isu (baca: kasus) lama atau baru selama kasus itu belum dituntaskan.” Sehingga kalau ada persoalan lama yang belum selesai, maka sah-sah saja untuk dilakukan penekanan penyelesaian kasus tersebut kepada pihak-pihak yang mempunyai wewenang dalam menyelesaikan kapanpun saja. Prinsipnya, semua isu adalah baru selama kita tahu kasus itu belum selesai. Paham kan?

Terkadang kita terjebak pada framing media untuk menyatakan lama atau barunya sebuah isu. Kerapkali kita latah dan mengikuti arus yang sedang viral pada saat yang bersamaan sehingga kita cenderung pasif dan menunggu isu yang akan datang untuk kita perjuangkan. Padahal kita bisa mengangkat isu apapun selama itu masih belum selesai. Dan selama belum selesai maka semuanya layak disuarakan.

Contoh kasus di kota Gerbang Salam beberapa Minggu lalu tentang pemalsuan tanda tangan yang dilakukan oleh oknum anggota DPRD kabupaten Pamekasan. Kasus tersebut sempat viral dan hampir semua elemen masyarakat memberikan komentar terhadap perilaku tidak etis anggota DPRD dimaksud. Tetapi lambat laun persoalan itu tidak menemukan kejelasan selesai atau tidak. Karena kasus ini tidak lagi diframing oleh media sehingga kontrol masyarakat melemah terhadap penyelesaian kasus tersebut yang seharusnya terus dikawal sampai selesai.

Aktivis, LSM, media sebagai corong masyarakat penting untuk selalu mengikuti perkembangan seberapa jauh kasus tersebut. Kalau kehilangan informasi, boleh turun jalan dan bertanya kepada wakil kita di perlemen. Bahkan bukan hanya berhak tahu, kita juga mempunyai hak menekan agar kasus tersebut segera diselesaikan. Jangan hilang begitu saja, karena sudah terlalu banyak kasus yang hilang tanpa jejak.

Seperti yang dirilis oleh beberapa media beberapa hari lalu, terduga pemalsuan tanda tangan itu sudah ada orangnya, dan memang tidak pernah dipublish secara fulgar hanya inisial saja. Sehingga dengan begitu, tinggal menunggu kabar berikutnya yaitu sidang di pengadilan. Tetapi kita tidak pernah tahu pertempuran yang terjadi seperti apa jika tidak diamati secara seksama, atau jangan-jangan tidak pertempuran sama sekali dan selesai di bawah kursi.

Kenapa kasus tersebut harus tetap dikawal? Pertama, memberikan efek jera bagi siapapun pihak yang menyalahgunakan wewenang; kedua, agar tidak mudah memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan; ketiga, agar tidak mudah menyalahgunakan nama orang lain untuk kepentingan/keuntungan pribadi; keempat, memperjelas kedudukan hukum (antara perbuatan yang melanggar hukum dan tidak). Jelas bahwa proposal yang berujung pada pemalsuan tanda tangan itu mengatasnamakan masyarakat, maka masyarakat juga mempunyai hak bertanya seberapa jauh proses hukum yang sudah dilalui.


MUSANNAN: Penulis lepas yang aktif di beberapa organisasi kemasyarakatan di Pamekasan. dinataranya sebagai sekretaris Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (LESBUMI) PCNU Pamekasan.