Politik Getah Nangka Tidak Fair di Pilbup Sumenep

Oleh: Nur Khalis

Judul catatan sederhana keempat ini, sempat saya utarakan pada seorang kawan saat ada aksi damai di depan gedung DPRD Sumenep. Karena saat itu suasana sedang ramai, kawan saya hanya tersenyum tipis tanpa memberi respon lebih.

Istilah politik getah nangka, saya sadur dari pribahasa: seorang makan nangka, semua kena getahnya. Artinya, hanya seorang saja yang berbuat, namun semua menanggung akibatnya.

Dan menjelang Pilbup di Kabupaten Sumenep, diduga sekelompok orang akan mempraktikkan politik ini. Penolakan terhadap RUU HIP, getahnya akan diteteskan hingga ke daerah. Bahkan sangat mungkin menjadi serangan politik “legal”.

Diantaranya, saat aksi damai di depan kantor DPRD, seruan untuk tidak mendukung calon dari partai pengusul dan pendukung RUU HIP di DPR RI, sempat mencuat. Saat itu, massa dengan kompak menyetujuinya.

Hemat saya, politik getah nangka ini tidak fair dipraktikkan. Terutama di daerah. Ambil contoh, secara kelembagaan, DPRD Kabupaten hanya punya hak untuk menyampaikan keberatan pada DPR RI. Hanya itu, tidak lebih.

Meskipun DPRD kabupaten menjadi representasi wakil rakyat dari beragam kendaran politik, mereka tetap tidak bisa berbuat banyak. Suara kader partai di daerah, bisa saja hanya jadi angin lewat.

Lalu kenapa calon walikota atau bupati dari partai pengusul dan pendukung RUU HIP di daerah, dirasa punya kekuatan untuk mengubah kebijakan pusat itu? Dan jika tidak mampu menghentikan RUU HIP, atau tidak pindah partai politik, calon itu menjadi wajib tidak dipilih?

Telaah kita soal politik, hemat saya harus terbuka dan fair. Diskusikan visi missinya dan kawal. Saya rasa itu lebih penting. Daripada untuk sekedar menang, sampai rela menabur getah kemana-mana.

Hemat saya, tambah kurang elok jika tujuan dari politik getah nangka ini hanya untuk memiliki nilai tawar politik di daerah. Niat ini terasa cukup keji.

Terakhir. Catatan sederhana ini tidak untuk membela atau menyalahkan siapapun. Ini hanya usul saja, karena Sumenep dikenal sebagai kota santri dan jantungnya Madura. Perlu politik yang santun dan tidak mengada-ada.

Lain dari itu, mungkin ada pula praktik politik yang lebih keji dari sekedar politik getah nangka ini. Politisasi agama, misalnya, semua harus kita hindari.

Akan tapi lepas dari itu semua, biar tidak njlimet, mari kita berpikir simple saja bahwa politik memang sulit ditebak. Dan mungkin, yang menang belum tentu benar berpolitiknya. Lambat laun, mungkin (kekejian) politik akan berubah menjadi hukum alam. Sulit kita hadapi hanya dengan kebaikan saja. Salam. (*)


NUR KHALIS: Jurnalis salah satu media Nasional, tinggal di Capura Sumenep Madura. Tulisan ini pertama kali diunggah penulis di Beranda Facebook pribadinya NK Gapura