M a r i n a

Cerpen: Juwairiyah Mawardy

Untuk ke sekian kalinya aku mendapati ibu mertuaku sedang mengobrol di telepon dengan Marina, teman suamiku. Akrab. Dan aku tak menyukainya. Bukan tak menyukai ibu mertuaku melainkan aku tak suka kesukaannya mengobrol akrab dengan Marina di telepon. Marina adalah teman suamiku sejak kecil. Istilah suamiku, sahabat.

Aku tak ingin mempercayai anggapan umum bahwa mertua perempuan sering tak cocok dengan menantu perempuannya. Atau anggapan yang menyebutkan bahwa sesama menantu perempuan biasanya bersaing ketat dalam mendapatkan simpati mertua perempuannya. Untuk hal yang kedua ini aku dapat merasa aman karena suamiku hanya dua bersaudara dan adiknya adalah seorang laki-laki pula. Tak ada masalah dengan adik iparku. Pun sebenarnya tak ada masalah dengan ibu mertuaku, kecuali tentang ketaksukaanku melihat kebiasaannya mengobrol asyik dengan Marina.

“Sejak dulu ibu memang dekat dengan Marina. Mungkin saja Marina sudah dianggapnya seperti anaknya sendiri. Marina memang tidak punya orang tua lagi dan hanya tinggal dengan neneknya. Kenapa? Kamu tak suka ibu mengobrol dengan Marina?”

Aku jadi serba salah untuk ‘mengadu’ pada suamiku.

“Bukan begitu, mas. Kok sepertinya gimana..gitu…” ucapku ragu.

Suamiku tertawa. “Kau ini ada-ada saja. Gimana gitu bagaimaa maksudmu? Kamu ini menantu ibu, anak ibu. Kamu punya kesempatan lebih banyak untuk mengobrol dengan ibu, bahkan tidak perlu lewat telepon tapi mengobrol langsung…”

“Tapi, mas…”

Suamiku menaikkan sebelah alisnya dengan jenaka. Akhirnya aku tak jadi bicara lagi dan hanya mengangkat bahu.

Suatu hari Minggu ketika pagi hari suamiku sedang bermain bola dengan teman-temannya, kulihat ibu sedang menelepon. Pasti Marina, pikirku. Benar saja. Sambil lalu aku pura-pura lewat dekat ibu yang menyandar santai di kursi panjang depan kamarnya, aku mendengar selintas-selintas obrolan ibu.

“Kau ini menunggu apalagi? Menikah itu menentramkan…apalagi kamu sudah tidak punya orang tua…”

Tak kudengar sahutan di sebelah sana. Tapi aku yakin Marina di ujung telepon.

“Iya, memang tidak boleh sembarang memilih pasangan, tapi perempuan juga jangan terlalu pemilih…nanti dapatnya malah nggak jelas…hehe…” ibu mertuaku tertawa geli seperti bicara dengan teman seusianya.

Lagi-lagi perasaan tak enak muncul dalam hatiku. Kenapa ibu tidak pernah bergurau denganku? Kenapa ibu bisa begitu enjoy dengan Marina yang bukan apa-apanya dan hanya sahabat puteranya?

Memang sampai saat ini aku belum pernah bertemu langsung dengan Marina. Hanya melihat beberapa fotonya bersama keluarga suamiku. Marina tampak cantik. Katanya sejak kecil Marina memang yatim piatu dan dibesarkan neneknya. Sejak sama-sama tamat kuliah, suamiku tidak pernah bertemu lagi dengan Marina. Karena Marina pindah ke kota lain setelah diterima bekerja di sebuah perusahaan.

Awalnya aku tak begitu perhatian pada kebiasaan ibu menelepon. Kupikir teman-temannya sesama ibu-ibu yang terkadang memang suka kumpul-kumpul untuk mengadakan acara sosial atau sekadar arisan. Tapi kemudian kuperhatikan ternyata ibu mertuaku sering mengobrol dengan sahabat suamiku, yaitu Marina, di telepon.

Jujur, aku merasa sedikit tersaingi dengan kedekatan Marina dan ibu. Semestinya akulah yang karib dengan ibu. Apalagi aku dan ibu mertuaku tinggal serumah, bersantap di meja makan yang sama, sering berada di rumah bersama-sama.

“Ibu butuh teman mengobrol…dan Marina selalu mau mengobrol dengan ibu, terutama soal buku baru karena Marina suka membaca. Kau tahu kan ibuku juga suka membaca? Marina akan memberitahukan ibu informasi buku-buku baru yang cocok untuk dibaca orang seusia ibu…” kata suamiku ketika untuk ke sekian kalinya aku menyinggung kebiasaan ibu mengobrol dengan Marina.

Aku menghela nafas. “Kalau hanya butuh teman mengobrol kan di rumah ini ada aku, mas?”

Suamiku tersenyum. “Ibu toh juga mengobrol denganmu, tidak mendiamkanmu. Ibu hanya merasa cocok kalau mengobrol dengan Marina karena Marina tahu banyak tentang dunia buku. Denganku saja ibu tidak merasa nyambung untuk bicara buku. Dulu waktu mudanya ibu ingin jadi penulis, makanya sampai sekarang ibu masih suka membaca dan masih bersemangat mengobrol urusan buku…”

Tetap saja aku tak merasa tenang dengan cerita suamiku.

“Sudahlah, begitu aja kok dipikirkan…kamu sudah cukup repot mengajar sampai siang dan sampai di rumah pasti capek kan?”

Ibu tidak tahu bahwa diam-diam aku mengamati kebiasaannya mengobrol di telepon dengan Marina, bahkan sudah beberapa kali ‘mempersoalkannya’ pada suamiku. Tiba-tiba hari ini ibu menyodorkan telepon genggamnya padaku.

“Teman Raka, Marina, ingin bertanya kabar kalian…ini, sekalian kamu berkenalan dengannya…”

Aku tak langsung menerima benda itu, bahkan menatapnya seolah benda ajaib. Marina ingin bicara denganku? Apakah ini siasat suamiku yang bersekongkol dengan ibu agar aku berkenalan dengan Marina dan tak lagi memikirkan acara mengobrolnya dengan ibu yang ‘meresahkanku’ itu? Ah!

Agak canggung kuterima telepon itu dan segera ada suara menyapa dari ujung sana.

“Hallo…apa kabar?”

Aku menarik nafas sebelum menjawab. Suaranya tenang meski tidak merdu. “Hallo, kabar kami baik. Bagaimana kabarmu? Namamu Marina kan? Mas Raka sering bercerita tentangmu…” begitu saja kata-kata meluncur dari mulutku tanpa kurencanakan.

“Oya? Raka bercerita tentang apa? Tentang kebiasaanku yang malas bangun pagi ya?” Marina tertawa lepas. Aku iri mendengar suara tawa lepasnya.

“Mm…tidak juga, katanya kamu suka membaca buku.”

“Ah…cuma untuk pengisi waktu saja…pada dasarnya aku ini perempuan yang senang menganggur, kok…”

Diam. Sunyi menggantung. Tapi dia segera menyambung kembali pembicaraan.

“Sebenarnya sudah lama aku ingin sesekali mengobrol denganmu, kalau tak keberatan dan tak merepotkan, sih…”

“Oh…sama sekali tidak…”

“Raka bilang kamu sibuk…”

“Mm…hanya kalau sampai siang saja…sore aku banyak bersantai…” kataku jujur.

Aku mulai enjoy. Kuakui Marina mudah menumbuhkan pembicaraan. Mungkin karena dia banyak membaca sehingga tidak gampang kehilangan kata-kata. Diam-diam aku mulai memaklumi ibu mertuaku yang suka mengobrol dengannya. Tapi perasaanku tetap waspada. Bagaimanapun aku takut ibu mertuaku lebih menyukai Marina dari pada aku menantunya. Itu tidak boleh terjadi. Seorang ibu dapat mempengaruhi anaknya. Bagaimana kalau suamiku nanti mengikuti arahan ibunya soal Marina? Apalagi memang Marina adalah sahabat suamiku. Setidaknya dulu, sebelum menikah denganku, suamiku dekat dengan Marina, meski hanya sebagai sahabat.

Saat ini Marina masih melajang. Dan bukan tidak mungkin perasaan persahabatan antar suamiku dan Marina bisa berkembang menjadi cinta. Bukankah semua serba mungkin? Tidak sedikit perempuan lajang menyukai laki-laki yang sudah beristri, apalagi mereka pernah memiliki kebersamaan di masa lalu.

Selama beberapa menit, sambil berpikir ke sana kemari aku mengobrol santai dengan Marina. Dia bertanya hobbyku dan sepertinya dia yang lebih banyak bertanya dari pada aku padanya. Sampai akhirnya dia meminta teleponnya diberikan kembali pada ibu yang menyingkir ke belakang selama aku mengobrol dengan Marina.

Aku pun menyingkir ketika ibu mulai berbincang lagi dengan Marina. Rupanya Marina memang penelepon ulung. Tak lelah dia berbicara puluhan menit dengan ibu. Dan anehnya, seperti kerang bertemu cangkangnya, ibu juga betah berlama-lama mengobrol dengan Marina!

Malam hari kuceritakan pada suamiku bahwa Marina mengajakku mengobrol di telepon melalui telepon ibu. Kuamati raut wajah suamiku sewaktu kuceritakan hal itu. Tak tampak kesan bahwa suamiku bersekongkol dengan ibu. Dia justru heran.

“Benarkah? Dia tadi sore japri kalau mau mengunjungi kita, tapi dia tidak memberitahuku bahwa habis mengobrol denganmu…”

“Marina mau ke sini?” Aku kaget.

“Iya. Dia memang sudah lama tidak ke sini. Mungkin maksudnya mengunjungi ibu. Aku tidak tahu apakah ibu yang memintanya datang atau dia memang ingin datang. Kenapa?”

“Tidak apa-apa, kok, mas…cuma…” aku tidak enak untuk meneruskan kalimatku. Aku khawatir ditertawakan oleh suamiku atau bahkan justru suamiku marah padaku.

“Cuma apa? Kalian sudah mengobrol di telepon, nanti kan enak kalau sudah ketemu, tidak seperti orang baru lagi…Marina itu orangnya suka mengobrol dan kalau sudah mengobrol dengannya pasti senang, lihat saja ibu…”

Kata-kata suamiku justru membuatku semakin bertanya-tanya pernahkah terlintas rasa tertarik dalam diri suamiku terhadap Marina? Bagaimana kalau itu benar dan nanti rasa tertarik itu muncul lagi jika Marina datang ke rumah ini? Marina yang masih lajang membuatku merasa terancam.

Keesokan harinya ibu mertuaku memberitahukan hal yang sama; Marina akan datang minggu depan. Sengaja memilih hari Minggu karena hari libur kerja.

Aku menunggu hari Minggu itu dengan lebih berdebar dari pada menunggu hari saat aku akan dilamar mas Raka dulu. Menunggu Marina seperti sebuah siksaan tersendiri karena aneka kecemasan yang ada dalam batinku.

Hari Minggu itu akan segera tiba, besok. Sejak semalam, baik ibu mertuaku maupun mas Raka seperti sibuk menyiapkan kedatangan seorang Marina. Sebenarnya, seandainya aku mau bersikap netral, suami dan mertuaku amat melibatkanku dalam kesibukan mereka. Bahkan ibu meledekku padahal biasanya tidak begitu.

“Kamu ini kan ingin tahu Marina seperti apa, ayo, dong, siap-siap besok mau masak apa saja. Kamu kan pandai bikin kue dengan resep baru dari majalah, kenapa tidak mencoba membuatnya sekarang biar besok tamu kita senang? Dia juga tamu kamu, lho!”

Aku hanya meringis mendengar kata-kata ibu mertuaku. Kulihat suamiku senyum-senyum saja.

Jadilah malam hari aku tidur agak larut karena masih membuat kue istimewa untuk seorang tamu istimewa pula, Marina. Suamiku turut senang melihatku sibuk sekalipun jam istirahat kami berdua menjadi terpotong.

“Nah, gitu, dong…”

Ah, betapa kompaknya ibu mertuaku dengan puteranya itu soal Marina. Marina sudah menyihir dua orang yang kusayangi itu entah dengan apa. Benar-benar mempesonakah dia?

Hari Minggu pagi.

Cuaca nampak bersahabat. Sejak awal pagi matahari bersinar cerah namun hangat. Sepertinya hari ini akan menjadi hari yang baik, entah bagi siapa. Cuaca dalam hatiku sendiri setengah cerah setengah mendung. Aku tetap khawatir, di hadapanku nanti, mas Raka menunjukkan perhatian yang berlebih dari sekedar sahabat terhadap Marina. Apalagi didukung sikap ibu yang begitu antusias pula.

Kalau kupikir-pikir lagi sepertinya aku hanya paranoid saja. Sebab selama ini ibu mertuaku tidak pernah menunjukkan sikap antipati padaku, tidak pernah membandingkan aku dengan Marina atau siapapun. Ibu selalu ramah, kadang mengajak ngobrol duluan kalau kebetulan sama-sama bersantai. Aku-nya saja yang kurang begitu tahu menyambung pembicaraan sehingga memperpanjang jarak antara mertua dan menantu.

Tapi, tak ada salahnya kan waspada? Sudah banyak fakta kalau seorang ibu mertua itu kadang pura-pura manis pada menantu perempuannya hanya karena menantunya itu adalah istri puteranya. Tapi ibu mertuaku tetap ramah dan wajar sekalipun tidak ada suamiku. Dan sikapnya tidak pernah norak atau berlebihan jika ada suamiku.

Aduuuh…betapa beratnya menyimpan kewaspadaan yang berlebih. Bagaimana nanti aku akan bersikap di hadapan Marina? Tapi, bukankah kami sudah pernah mengobrol sekalipun hanya melalui telepon?

Ternyata Marina tidak perlu dijemput. Dia tiba di rumah kami menjelang jam sembilan pagi.

Mulanya aku tidak tahu pasti yang manakah Marina, sebab ada dua orang perempuan muda dan seorang laki-laki. Kedua-duanya cantik pula. Meski tidak seperti di foto yang pernah kulihat, tapi kemudian aku menebak bahwa yang lebih cantik itu adalah Marina setelah perempuan itu menghampiri ibu dan memeluknya dengan erat. Perempuan itu juga menyalami suamiku dengan hangat dan memperkenalkan laki-laki yang bersamanya.

“Ibu, Raka, ini Samudera, calon suami saya. Sam, ini ibu yang sering kuceritakan padamu, dan ini Raka, temanku, dan ini….” Marina menghampiriku serta menyalamiku, “ini pasti istri Raka, apa kabar?”

Aku menyambut uluran tangannya. Perempuan satunya diperkenalkan sebagai adik iparnya, adik dari tunangannya.

Tiba-tiba ada yang menguap dari dalam diriku. Kekhawatiranku sama sekali tak beralasan. Marina memiliki tunangan yang lebih tampan dari suamiku. Keakrabannya dengan suamiku benar-benar sebagai teman.

Kuperhatikan suamiku memang akrab dengan Marina, tapi aku tidak menangkap nuansa lain di antara mereka. Pun kedekatan Marina dengan ibu mertuaku justru terlihat seperti orang tua dan anak. Dan yang ada di antara suamiku dan Marina adalah rasa persahabatan dan persaudaraan.

Rupanya aku harus belajar banyak mengenali ketulusan. Dan rupanya di dunia ini benar-benar ada nilai persaudaraan dan persahabatan yang tulus tanpa pamrih, tanpa tendensi lain.

“Mana kue buatanmu? Ayo suguhkan pada tamu-tamu kita!” Tiba-tiba ibu mertuaku menolehku dan membuat semua perhatian orang yang sedang bercengkrama itu beralih padaku

Aku berdiri bergegas, rasanya agak sedikit gugup. Lagi-lagi aku khawatir, jangan-jangan Marina itu pandai memasak dan kini dia akan menilai kue buatanku.

Begitu kue terhidang, Marina mencomot tanpa dipersilahkan. Ibu mertuaku menepuk bahunya sambil berkata;

“Kau ini pandainya mencicip saja, nanti kau belajar sama menantuku, dia jago bikin kue. Kasian kalau nanti suamimu ingin makan kue harus beli terus…”

Marina tertawa kecil. “Aduh, ibu, kok buka rahasia saya di depan umum, sih? Jadi malu…”

Semuanya tertawa.

“Kamu harus kursus masak dulu sebelum menikah…” timpal suamiku.

Tunangan Marina hanya senyum-senyum.

Benar, hari ini menjadi hari yang cerah, bagi setiap orang di rumahku. Juga bagiku. Seorang Marina telah mengajarkan padaku indahnya persaudaraan. Dan aku pun harus belajar tentang bagaimana menekan kekhawatiran sebagai seorang istri. Terutama setelah melihat bagaimana ibu mertua dan suamiku justru sangat menghargaiku di hadapan orang lain. (*)


 JUWAIRIYAH MAWARDY:, aktif menulis di media sejak 1998. Karyanya dimuat berbagai media lokal dan nasional seperti Republika, Surya, Surabaya Post, majalah sastra Horison, majalah Sekar, majalah STORY, serta beberapa antologi bersama. Juga menulis cerpen dalam bahasa daerah Madura. Sebuah cerpennya Mati Tua menjadi pemenang lomba menulis cerpen diknas pusat. Kumpulan cerpen tunggalnya Rencana Paling Sempurna (April 2011). Tinggal di Karduluk Sumenep.