Kisah Tanda Tangan (di) Palsu

Oleh: Musannan

Kapan hari, kota Gerbang Salam ribut-ribut soal pemalsuan tanda tangan. Kabarnya, salah seorang anggota DPRD dinyatakan telah membuat proposal dana dengan mengatasnamakan ketua komisi-komisi. Proposal dana dimaksud diajukan kepada Bank Jatim sebagai bantuan bagi orang terdampak covid-19. Waw, mulia sekali akhlaknya.

Atas perbuatan itu, oknum DPRD itu pun dilaporkan kepada Badan Kehormatan (BK) DPRD Kab. Pamekasan. Ibarat kata, anak melanggar dilaporkan ke orang tuanya. Endingnya mudah ditebak, paling hanya dapat peringatan dan mentok dimarahi. Dan jika kasus seperti ini hanya selesai sampai di BK, jangan kaget bila di kemudian hari akan bermunculan kasus serupa. Kalau endingnya betul-betul seperti itu, sama saja dengan tidak ada apa-apa. Buat apa juga dipublikasikan dan melibatkan opini publik.

Kasus seperti ini harusnya tidak hanya selesai pada BK. Kenapa demikian? Mari, simak penjelasan berikut ini.

Dalam kacamata sosial, pemalsuan tanda tangan itu adalah sebuah bentuk penghinaan. Selain pada perseorangan, juga pada institusi negara. Kenapa dikatakan begitu? Sebab, penanda tangan telah penyepelekan seseorang yang dipercaya oleh masyarakat sebagai perwakilan rakyat. Perlu dipahami, orang yang dipalsu tanda tangannya selain sebagai personal juga pejabat publik.

Yang tidak kalah menghinakan adalah si pemalsu seperti berpikir apa yang ia lakukan itu terserah dia. Soal orang yang dipalsu tanda tangannya apa kata dia. Karena dia berpikir semua berada di bawah kendalinya. Sungguh, perbuatan tidak beretika itu termasuk perbuatan tercela dan mencemarkan nama baik seseorang dan lembaga negara.

Dalam kacamata hukum positif, pemalsuan tanda tangan termasuk pelanggaran hukum. Dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), pemalsuan tanda tangan itu masuk pada pemalsuan surat. Pasal yang menjelaskan tentang pemalsuan surat (tanda tangan) berada pada pasal 263 ayat (1), bunyinya sebagai berikut:

“Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.”

Jelas sekali bagi pemalsu tanda tangan bisa dituntut secara hukum. Namun, apabila seseorang yang dipalsu tanda tangannya tidak berkeberatan atas pemalsuan itu, maka tidak ada konsekuensi bagi pemalsu. Akan tetapi dalam kasus pemalsuan tanda tangan yang dilakukan oleh salah seorang oknum DPRD Pamekasan tidak sesederhana kasus pemalsuan tanda tangan biasa. Sebab yang yang dipalsu tanda tangannya adalah pejabat publik yang setiap tanda tangannya menyangkut sebuah kebijakan dan secara tidak langsung melibatkan konstituennya.

Seseorang menjadi anggota DPRD itu dipilih oleh masyarakat. Artinya, seandainya tidak dipilih, dia tidak akan menjadi anggota DPRD dan tidak menjadi ketua komisi. Sehingga apabila yang dipalsu tanda tangannya adalah ketua komisi yang dirugikan bukan perseorangan tetapi masyarakat. Demikian itu karena ketua komisi itu sudah atas nama lembaga tidak hanya atas nama satu orang saja. Jadi, pemalsu tanda tangan itu tidak hanya selesai berjabat tangan dengan satu orang yang dipalsu tanda tangannya.

Kesalahan fatal bagi orang yang memalsu tanda tangan anggota DPRD. Apalagi yang dipalsu tanda tangan ketua-ketua komisi. Jelas perbuatan itu melanggar hukum karena merugikan banyak pihak dan itu diakui oleh beberapa anggota DPRD. Nah, kalau akhirnya tidak berlanjut sebagaimana konsekuensi bagi perbuatan yang merugikan biasanya, masyarakat boleh curiga bahwa persoalan itu selesai di bawah meja. Karena dari awal semuanya sepakat bahwa perbuatan itu merugikan. (*)


MUSANNAN: Penulis lepas yang tinggal di Pamekasan Madura. Aktif di beberpa organisasi kemasyarakatan, diantaranya sebagai Sekretaris Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (LESBUMI) PCNU Pamekasan. Sehari-harinya juga aktif sebagai tenaga pendidik di MTs. Bustanul Mubtadiin Proppo Pamekasan. Tulisan ini pertama kali diunggah di beranda Facebook Musannan Abdul Hadi Al-Mankoni