Stigmatisasi, Stereotype dan Degradasi Budaya Madura.

Oleh M Hanif Tanzil

Setiap daerah atau etnis pasti memiliki budaya yang menggambarkan terhadap situasi masyarakat setempat, seperti halnya budaya.

Budaya merupakan kekayaan dan kebanggaan serta warisan leluhur yang harus dijaga kelestariannya oleh entitas setempat sehingga tidak tergerus dan tereliminir oleh peradaban yang akan menyisihkan budaya tersebut.

Etnik Madura, yang merupakan masyarakat sosial yang memiliki kompleksitas budaya yang khas, unik, stereotype dan stigmatis (lihat: taufiqurrahman, identitas budaya Madura) menggeneralisasikan deskripsi watak masyarakat secara komunal. Corak budaya yang harusnya serat akan filosofis dan bermakna elegan, dewasa ini mulai menyingsingkan eksistensinya di hadapan etnik Madura.

Fakta tersebut tidak terlepas dari wacana modernisasi yang tengah mengudara dan mengikis perlahan urgensitas budaya lokal serta terdegradasikan oleh budaya global yang kian hari semakin menyerambat dalam watak masyarakat Madura.

Al hasil warisan budaya yang dimiliki sudah dipandang sesuatu yang kolot, klasik dan tidak jamani, dengan kata lain masyarakat Madura telah terhegemoni oleh arus penawaran budaya modern.

Kondisi yang demikian ditunjukkan dengan penulisan aksara caraka Madura yang saat ini sulit mendapati pemuda yang mempelajarinya atau walaupun dipelajari tidak lagi menggunakan aksara caraka yang asli melainkan ditarik pada penulisan latin sebagai pendekatan yang digunakan.

Alasannya tidak lain karena kapasitas pengetahuan yang dimiliki oleh pengajarnya yang kurang mempuni dalam bidang tersebut.

Hal itu dilatar belakangi oleh pandangan fungsionalitas yang sampai detik ini tidak menemukan orientasi yang jelas selain sebagai budaya warisan luluhur mengingat corak berfikir masyarakat pasca orde baru mengisyaratkan kepragmatisan, sehingga dalam kondisi ini nilai budaya tulisan caraka tidak lagi menjadi penawaran yang menggiurkan kepada etnis Madura.

Kemudian sistem pendidikan pemerintah lokal (Madura) yang tidak mewajibkan materi pembelajaran kurikulum kebudayaan lokal turut melunakkan etnik Madura khususnya para pemuda untuk tidak lagi menolah pada warisan leluhur sehingga menjadi konsekuensi logis bahwa budaya tulisan anacaraka hanya akan dikenal sebagai budaya Madura tanpa menemui substansi yang diharapkan.

Sisi lain yang mulai terkikis dari tangan masyarakat Madura adalah bahasa Madura itu sendiri. Bahasa Madura terkenal memiliki tiga level/stratifikasi kebahasaan yakni “enja`-iyah (Stratifikasi bahasa terendah), engghi-enten (Stratifikasi bahasa menengah) dan engghi-bhunten (Stratifikasi bahasa ter-atas)” (Baca: Muakman, Sorot Sandherra Caca) yang disadari atau tidak sudah mulai redup dalam aras pengetahuan dan kesadaran masyarakat Madura.

Bahkan dewasa ini banyak ditemukan keluarga yang mengajarkan putra-putrinya menggunakan bahasa Indonesia sejak dari dia mulai menghirup udara di dunia.

Apabila kembali ditelisik lebih jauh, masyarakat Madura pada stratifikasi kebahasaan tingkat terendah masih terbilang cukup aktif meskipun hal ini hanya digeluti oleh masyarakat pedesaan. Namun, pada stratifikasi bahasa berikutnya (engghi-enten dan engghi-bhunten), secara praksis sudah mulai asing di hadapan etnik Madura.

Terbukti kondisi tersebut tampak di tengah masyarakat yang jarang sekali ditemukan bisa berbicara aktif menggunakan bahasa tingkat kedua dan ketiga. Terlebih pada kalangan masyarakat yang terdidik yang cenderung menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi aktif sehari-hari.

Kecenderungan tersebut tidak terlepas dari rasa ketidak banggaan dan loyalitas masyarakat Madura akan budaya yang seyogyanya harus dilestarikan sebagai insan yang berkewajiban menjaga budaya lokal.

Kemudian muncul stigma di tengah pengguna bahasa Madura sebagai predikat klaster sosial yang klasik, kuno dan tidak berpendidikan tinggi.

Streotipikal yang hakikatnya berdasar pada pandangan subjektifitas pengguna bahasa dan kemudian mereduksikan proporsi bahasa Madura sebagai bahasa yang elegan dan warisan leluhur yang harus dibanggakan.

Kemudian terdapat lagi budaya Madura yang kian tergerus oleh zaman, seperti pembuatan rumah yang memiliki ornamen dan struktur yang khas. Rumah yang dibangun menggambarkan stratifikasi sosial. Seperti diantaranya roma bangsal, dalam tradisi masyarakat Madura biasanya dimiliki oleh kalangan priyai Madura seperti kepala desa (klebun). Roma bangsal mencerminkan bahwa yang memiliki adalah dari kalangan masyarakat dengan kelas ekonomi menengah, selanjutnya adalah roma pecenan yakni rumah yang biasanya dimiliki oleh masyarkat pada umumnya (lihat: Edi Susanto, Revitalisasi Nilai Luhur Tradisi Local Madura).

Tata letak rumah tersebut biasanya diletakkan secara berbanjar yang dari sini menghasilkan halaman rumah yang membentang panjang dan dalam tradisi masyarakat Madura dikenal dengan istilah Taniyan Lanjhang.

Tradisi yang demikian dewasa ini sangat sulit untuk ditemukan bahkan bisa dikatakan sudah sangat langka. Hal tersebut dikarenakan kuatnya dobrakan modernisasi yang menghantam sehingga membuat masyarakat Madura seakan berada di tengah etalase yang menggantungkan hingar-bingar kebaruan yang semakin memantapkan masyarakat Madura mencabut budayanya yang sudah sejak dari awal dianggap kolot.

Kondisi demikian akan mendorong tereliminasinya budaya lokal serta faktor yang melatari alienasi budaya Madura dari masyarakat Madura itu sendiri.

Kemudian muncul budaya Madura yang sampai saat ini tetap eksis sebagai icon budaya Madura, yakni kerapan Sapi dan Carok.

Memang tidak bisa dielakkan lagi bahwa dua budaya tersebut merupakan budaya yang muncul di tengah fokus percaturan masyarakat Madura yang sampai detik ini tidak luntur kemasyhurannya baik di tengah masyarakat Madura sendiri atau di hadapan etnis lain. Namun, rupanya muncul makna lain dari dua budaya tersebut sehingga melahirkan stigma negatif yang dipertontonkan.

Kecenderungan berfikir ala realisme menjadi panutan baru dalam memaknai budaya yang tengah menjadi icon Madura sehingga nilai kebudayaan yang tersampaikan tidak lagi sebagai budaya luhur melainkan penyimpangan atas nilai-nilai social dan keagamaan.

Penegasan tersebut terpatri dalam tradisi carok yang dimaknai bahwa etnik Madura adalah keras, tidak mencintai kedamaian, menolak musyawarah, egois, dan kekerasan sebagai penyelesaian akhir dari segala masalah. Streotipikal tersebut tentu saja tidaklah adil apabila disandingkan dengan masyarakat Madura sebagai budaya yang dimiliki.

Carok adalah sebuah pembelaan harga diri ketika seseorang merasa martabatnya terinjak-injak oleh orang lain, yang berhubungan dengan ketersinggungan tentang persoalan atau sengketa harta, tahta dan wanita (Lihat: Taufiqurrahman :Identitas Budaya Madura).

Secara principal, tiga entitas tersebut selalu menjadi momok di tengah kemelut atau pergesekan yang terjadi di tengah masyarakat karena merupakan simbol dari harga diri yang patut untuk dipertahankan. Kemudian muncul kembali anggapan bahwa setiap pertumpahan darah yang melibatkan masyarakat Madura dengan bersenjatakan arek (celurit) adalah carok.

Pemahaman tersebut sangat perlu untuk direkonstruksi dan diluruskan, karena pada dasarnya carok tidaklah sebatas pertumpahan darah melainkan memiliki mekanisme atau ritual sebelum carok tersebut berlangsung dan tentu saja sebelum terjadi duel kedua belah pihak yang kontra melakukan konsiliasi terlebih dahulu sebagai penyelesaian secara musyawarah melalui mediator yang telah ditunjukkan oleh masing-masing pihak sehingga apabila tidak ditemui pertautan pendapat yang mufakat maka jalan terakhir adalah  carok. Pada saat carok berlangsung setiap pihak tidak boleh menyerang dari belakang, sebagai tanda dari kekesatriaan.

Selanjutnya, dalam budaya kerapan sapi yang merupakan budaya khas Madura yang masih terang eksistensisnya kini mulai tertarik dalam sublimasi komersialisasi budaya sehingga pada takarannya menggeser nilai budaya yang diwariskan oleh peletak batu pertama budaya tersebut.

Masyarakat Madura didominasi oleh masyarakat muslim yang sangat fanatik terhadap ajaran agama islam. Garis panjang sejarah tercetusnya kerapan sapi menetas dari dakwah islam yang dibawakan oleh Ahmad Baidawi (Lihat: Mohammad Kosim, kerapan sapi pesta rakyat Madura).

Teknik pendekatan kearifan lokal membentangkan agama islam sebagai satu-satunya agama yang mendominasi di kalangan masyarakat Madura. Hal tersebut boleh saja dikatakan karena komoditas masyarakat adalah pertanian dan dari jalur inilah dakwah tersebut dimulai.

Kerapan sapi yang terlahir dari ruh spirit perjuangan dakwah dan kontestasi masyarakat Madura dalam membangun integritas komunal memicu perbaikan sektor pertanian dan perternakan.

Pada kelahiran budaya kerapan sapi tidak terlepas dari nilai-nilai keislaman yang mengikatnya. Pelaksanaannyapun dilaksanakan setelah panin sebagai bentuk hiburan pada pesta rakyat.

Ajang kontestasi yang hakikatnya beroritentasi agar para petani memperhatikan sapi tersebut sebagai makhluk Allah yang harus dilestarikan dan diperlakukan sebagaimana mestinya, lambat laun masa membawa kerapan sapi pada arah kontestasi komersial yang membabi buta. Kemenangan dalam kontestasinyapun menjadi harga mati dan harga diri yang harus dijunjung tinggi sehingga dengan motif itu kerapan sapi menjadi ajang penyiksaan dan penyitaan atas hak asasi hewan dengan perilaku yang tidak sepantasnya. Tentunya, kondisi tersebut semakin menguatkan streotipisasi dan stigmatisasi budaya Madura yang tersubordinasi.

Hal itu dikarenakan tidak terlepas dari campur tangan dari masyarakat lokal yang menampilkan konstruk budaya yang lengser dari singgasananya. Maka dari itu, mengetahui dan memahami serta membudayakan adalah cara terbijak untuk menghargai peninggalan leluhur.


M. HANIF TANZILlahir di Sumenep, 15 Maret 1994. Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab (PBA) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Madura Tahun 2015. Organisasi : PMII IAIN Madura, UKM Teater Fataria.