Lebur.id

Akhlak Siswa Adalah Akhlak Gurunya

Oleh: Habibullah Salman

Dalam sebuah rapat guru di sekolah tempat saya mengajar, ada seorang guru senior yang menyampaikan keresahannya melihat akhlak siswa terhadap guru, yang dalam pandangannya, sudah  parah. Keresahan guru tersebut menjadi pembicaraan hangat. Akhirnya, disepakati untuk membuat pengajian akhlak setiap kamis sore dan sosialisasi tentang materi akhlak secara sistematis dan intensif. Di luar sana, tentu juga banyak guru yang memiliki keresahan serupa.

Akhlak adalah budi pekerti atau perilaku. Ini berkaitan dengan setiap aktivitas. Esensi akhlak adalah membuat orang lain nyaman tatkala berinteraksi dengan kita dan kenyamanan itu memberikan manfaat terhadap orang tersebut. Lebih jauh, akhlak – sebagaimana dijelaskan dalam kitab Subulus Salam – adalah keadaan jiwa. Jadi, akhlak bukan hanya perbuatan yang nampak, yang mungkin hanya pura-pura atau rekayasa. Akhlak adalah presentasi jiwa yang sebenarnya. Ia berkaitan dengan kepribadian.

Jika kita memberikan uang kepada pengemis setelah kita mempertimbangkan berbagai hal, itu masih belum bernama akhlak. Jika kita menghormati guru karena takut dianggap tidak sopan, khawatir nilai afektif kita rendah atau hanya karena ikut aturan, itu juga bukan akhlak.

Karena akhlak adalah kondisi kejiwaan, maka pembentukannya butuh proses. Karena akhlak juga berkaitan dengan perilaku, maka ia juga memerlukan teladan, tidak hanya asupan teori dan informasi belaka. Dalam konteks akhlak siswa, peran guru sangat penting sekali. Guru di depan siswa adalah sosok yang digugu dan ditiru, baik itu dalam kebaikan atau kejelekan.

Idealnya, guru adalah insan yang akhlaknya lebih bagus daripada siswa. Kepala sekolah adalah insan yang paling bagus akhlaknya di lingkungan sekolah. Guru yang menghormati siswanya, sebenarnya sedang mendidik siswa tentang arti penting penghormatan. Guru yang mencintai siswanya sedang menitipkan benih akhlak cinta kasih.

Perilaku demikian bukan hal baru. Sudah lama diajarkan oleh guru paling agung, Rasulullah. Tatkala beliau berpidato di depan para sahabat misalnya, seorang sahabat datang terlambat. Sahabat itu nampak bingung mencari tempat duduk karena karena sudah terisi penuh. Menyaksikan itu, Rasul menghentikan pidatonya, turun dari mimbar, menghampiri sahabat itu. Rasul menghamparkan surbannya lalu mempersilahkan dengan lembut agar sahabat itu duduk di atasnya. Sahabat itu begitu terkesan. Dia diam. Air matanya berlinang, terkesan dengan penghormatan Rasul kepada dirinya.

Rasulullah bersikap lembut dan merendahkan pundak di depan pengikut beliau yang notabene adalah murid-murid beliau sendiri. Bayangkan, Rasulullah manusia agung, mahagurunya manusia, ternyata sangat menghormati murid-muridnya sendiri.

Di Annuqayah, ada sosok kiai yang meniru Rasul. Namanya K.H. Ilyas (almarhum). Beliau digelari syeikhul adabi karena adabnya yang sangat tinggi, termasuk terhadap santrinya. Kepada santrinya, beliau menggunakan bahasa halus dari aspek intonasi dan diksi. Dia tidak menyuruh santri kecuali menggunakan kata ‘minta tolong’ dan memastikan bahwa santri itu tidak punya kesibukan lain. Jika ada santri sedang bermain di jalan dan Kiai Ilyas hendak lewat, maka beliau diam-diam mencari jalan lain agar para santri ‘tidak terganggu’ oleh kehadirannya.

Saya memiliki dosen. Namanya Dr. Husein Aziz. Beliau begitu mendalami akhlak tasawufnya Imam al-Gazali. Kepada mahasiswa, beliau sangat hormat.  Di mata beliau, para mahasiswa bukan hanya muridnya melainkan juga ciptaan Allah yang harus dia hormati. Beliau berprinsip jika tidak menghormati ciptaan Allah, sama halnya dengan tidak menghormati Allah. Jika kami pergi ke rumah beliau untuk urusan skripsi, kami disambut layaknya tamu kehormatan. Ketika pulang, kami masih dikasih ongkos. Padahal kami adalah siswanya. Jangan ditanya betapa terkesan dan mendalamnya takdim kami kepada beliau, hingga sekarang.

Sudah saatnya sikap yang telah disemaikan guru-guru agung itu ditiru oleh guru sekarang. Guru mesti memposisikan sosok yang bisa digugu dan ditiru dalam perilaku keseharian. Sekali lagi, jika guru tidak mencintai dan menghormati siswanya, siswa sama sekali tidak akan pernah belajar arti penting penghormatan terhadap orang lain, termasuk terhadap guru mereka sendiri.


HABIBULLAH SALMAN: Alumni Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-guluk Sumenep Madura. Aktif menulis di berbagai media local dan nasional. Saat in penulis menjadi tenaga pendidik di Madrasah Annuqayah