Tandak; Seni Perlawanan Kaum Perempuan

Imam S. Arizal

Tandak atau tayub merupakan kesenian tradisional Madura yang menempatkan perempuan sebagai unsur dominan. Tandak sangat populer dan sempat menjadi tontonan istimewa seluruh masyarakat Madura, terutama Sumenep. Kesenian ini disamping menyimpan eksotisme seni tradisi lokal, juga menjadi bentuk lagitimasi bahwa perempuan bisa mewarnai kebudayaan Madura. Seni tandak merupakan satu-satunya budaya Madura berdimensi feminis.

Tandak adalah seni tari yang diperankan perempuan sambil ngejhung (nembang) di atas panggung. Sejak awala hingga akhir, pertunjukan tandak ditentukan oleh penari perempuan atau sinden. Penari laki-laki, yang biasanya terdiri dari kepala desa, camat, pegawai, pengusaha, dan para belater, hadir sebagai penikmat sekaligus aktor pendukung. Paralel dengan konsep harmonisasi seni pertunjukan tayub dengan meletakkan perempuan tandak atau sinden dan penari laki-laki dalam satu ruang.

Sambil ngejhung, perempuan tandak terus menari lihai sembari dikelilingi sekelompok laki-laki berjoget di atas panggung. Para pengunjung laki-laki akan terus bergantian menyambut kain penjung (sampur) yang dipegang penandak. Di atas panggung, perempuan tandak dan penari laki-laki saling mengadu kecerdasan menyusun kejungan (sastra) Madura, baik dalam bentuk rayu-merayu, atau sindir-sindiran kehidupan berumah tangga. Di akhir permainan, laki-laki menyerahkan sejumlah uang atas jasa hiburan yang dilakukan sang perempuan. Semakin laki-laki itu bisa menikmati tarian tandak, maka semakin besar pula uang yang dikeluarkan.

Tak ada yang tahu pasti kapan kesenian ini muncul. Bisa jadi ia lahir di era kerajaan Sumenep. Tapi kesenian ini baru mengakar pasca tahun 60-an. Hasil penelitian Kuntowijoyo (2002) menunjukkan bahwa hingga tahun 1940-an mayoritas masyarakat Madura masih suka melakukan migrasi ke Jawa. Struktur sosial dan ekonomi, masyarakat Madura bermata pencaharian sebagai pedagang, bukan petani. Karena para pedagang itu tipologinya suka bepergian, maka masyarakat Madura tidak terlampau memerlukan seni pertunjukan dalam budayanya.

Terlepas dari sejarah itu, konon, sebelum Sumenep menjadi keresidenan, keberadaan tandak dalam pentas sengaja diundang untuk meramaikan hajatan, seperti pernikahan, khitanan, dan sebagainya. Konsep sosial ini dipahami oleh warga Madura sebagai atolong (membantu masyarakat yang punya hajat).

Dalam perjalanan sejarahnya, seni tandak menjadi ritual rutin pemerintah kabupaten Sumenep. Kemajuan yang sangat signifikan dan paling menarik adalah bergesernya fungsi tandak dari sekedar seni hiburan menjadi pekerjaan profesional, orang Madura mengistilahkannya profesi (alakoh). Perempuan yang memilih profesi tandak yang cukup stigmatis, lantaran dorongan ekonomi. Pada level inilah tandak berpotensi menjadi seni perlawanan perempuan Madura terhadap cengkraman hegemoni laki-laki.

 

Seni Perlawanan

Sebagaimana kita tahu, dalam konteks relasi laki-perempuan, masyarakat Madura adalah masyarakat patriarki. Kepemimpinan berada di tangan laki-laki, sedang perempuan berada pada posisi terlindungi. Kekhasan patriarki Madura tertuang pada tata kekerabatan, politik ruang, dan budaya kekerasan, yang berputar pada topik penguasaan dan pemilikan laki-laki atas perempuan. Misalnya, model bangunan hunian di Madura tanean lanjhang terbukti tak berfungsi tunggal sebagai rumah tinggal saja. Dengan posisi bangunan terpusat, tanean lanjhang juga berfungsi sebagai pusat kegiatan laki-laki (suami) sekaligus pusat pengontrolan aktivitas perempuan.

Budaya patriarkhi menempatkan perempuan di ruang-ruang domistik saja, antara dapur, sumur, dan kasur. Akses perempuan untuk mendapatkan masukan ekonomi yang dapat menopang kebutuhan kelurga sangat minim. Sehingga muncul streotipe bahwa perempuan Madura adalah penunggu uang dari laki-laki. Laki-laki adalah pemimpin keluarga, penghasil ekonomi, dan harus ditaati. Sebuah stigma yang bukan hanya menjadikan kaum perempuan sebagai manusia kedua, tetapi lebih jauh menjadi bentuk kekerasan yang terlegitimasi secara kultural.

Pada puncak titik kekakuan itu, tandak muncul sebagai anomali dalam ruang tradisi patriarki yang kian menggurita di Madura. Menurut Abdul Hadi WM, tandak muncul sebagai perempuan seni, menciptakan kelonggaran relasi gender dan menjungkirbalikkan kekuasaan laki-laki. Awalnya, sebagaimana disinggung di atas, seni pertunjukan tayub dengan tandak sebagai pemain perempuannya, menjadi sekadar seni hiburan rakyat biasa. Tetapi ketika peran perempuan tandak bergeser dari panggung ke ruang keluarga, laki-laki (suami) tampaknya, bisa jadi, tak lagi disebut kepala keluarga.

Penghasilan tandak yang di atas rata-rata, membuat mereka mampu mengambil alih peran kepemimpinan dan pengambil keputusan keluarga. Perempuan tandak mampu mencukupi semua kebutuhan keluarga lantaran bekerja sebagai tandak. Perempuan tandak memiliki honor rata-rata Rp 500 ribu – Rp 750 ribu sekali pentas. Bahkan dalam sekali pentas iabisa mendapat uang Rp 1 juta – Rp 3 juta rupiah dari saweran.

Ketika ekonomi keluarga berada di genggaman istri, suka atau tidak, masyarakat harus mengakui bahwa seorang suami tak sepenuhnya bisa meminta istrinya berhenti menjadi tandak. Juga menggenggam norma lama suami mengatur istri dan istri wajib menaati suami. Tak ada lagi hegemoni laki-laki di ruang keluarga, yang ada adalah relasi dan kesetaraan gender. Dengan demikian, seni tandak bisa menjadi sebuah blue print perjuangan pembebasan perempuan dari kungkungan patriarki yang multiface.

 

Simbol Kelembutan Orang Madura

Adanya streotipe bahwa orang Madura kasar dan arogan akan segera tertepis bila kita menyaksikan seni tandak. Tak ada celurit, keberingasan, kekasaran, dan keangkuhan dalam pertunjukan ini. Para penari laki-laki yang hadir justeru menggambarkan sikap lemah-lembutnya terhadap perempuan. Mereka menempatkan perempuan tandak layaknya ratu yang mesti dilindungi. Dan secara faktual, perempuan di Madura memang tidak dijunjung seperti di Bugis, tapi dia punya hak yang tinggi.

Selain itu, tandak menyimbolkan tentang pentingnya memahami nilai-nilai yang harus dipahami dalam keluarga, menjunjung tinggi nilai-nilai cinta, sera mengajarkan betapa seni berbicara dalam berinteraksi, baik istri kepada suami atau sebaliknya, itu sangat penting demi terciptanya keharmonisan dalam mengarungi samudera rumah tangga.

Kejhung yang ditembangkan pada seni tandak merupakan karya sastra Madura yang sangat indah. Kita sadar bahwa karya sastra bisa membawa kehidupan masyarakat menjadi lebih baik, yang mampu menyangga peradaban. Sastra membelajarkan  makhluk bernama manusia untuk menyapa lainnya dengan bahasa yang baik, bernafaskan keadaban dan kesopanan. Sastra adalah perwujudan kemanusiaan demi membangun mahligai kehidupan yang berbalut keadilan, kebenaran dan kesucian. Sastra itu sangat memerhatikan rasa kebersamaan, dan perkawanan antarsesama manusia. Dengan hidup dalam dunia sastra, manusia terjaga dari angkara murka, perkelahian, pertengkaran dan percekcokan. Dari berbagai ilustrasi di atas, maka bisa dipastikan bahwa masyarakat yang mampu menginternalisasikan pesan moral seni tandak, akan menjadi masyarakat yang harmonis dan tenteram.

Namun saat ini, pertunjukan seni tandak jarang dijumpai, baik di kota maupun di desa. Tandak sudah mulai tergerus himpitan budaya global, budaya pop, hedonisme, yang kian mencekam. Generasi muda Madura sangat minim atau bahkan nyaris tidak ada lagi yang peduli akan kesenian tradisional ini. Dan ironisnya, pemerintah daerah seakan apriori terhadap fenomina tersebut.

 

*) Imam S. Arizal, Penikmat Budaya Madura