Merawat Visi Kewarganegaraan Gus Dur

BEBERAPA  waktu yang lalu perhatian kita tertuju pada gejolak sosial yang terjadi di Papua, entah apa sebenarnya akar problematika yang mendasari terjadinya “kerusuhan” di daerah tersebut, yang jelas kita sema prihatin dan berharap serentetan persoalan itu bisa tuntas dengan baik.

Ketika melihat gejolak sosial yang terjadi di Papua, tiba-tiba kita ingat sosok KH. Abdurrahan Wahid (Gus Dur), tokoh bangsa yang pernah menjadi penggerak dan konsolidator perdamaian di Papua termasuk di Aceh beberapa waktu yang lalu, saat kedua daerah ini berkecamuk akibat konflik sosial yang menggurita bahkan mengarah pada terjadinya dis-integrasi bangsa.

Waktu itu, Gus Dur hadir sebagai pembawa damai untuk segenap bangsa, proses rekonsiliasi dilakukan dengan cara-cara yang sangat santun dan tak melahirkan percikan api dendam. Gerakan tersebut merupakan cerminan dari visi kewarganegaraan yang melekat kuat pada semangat perjuangan Gus Dur, seperti yang diula dalam buku ini.

Dalam melakukan proses rekonsiliasi, Gus Dur selalu menghadirkan dan mengutamakan ruang dialog secara langsung dengan para tokoh dan pihak-pihak yang terlibat, itu pula yang dilakukan Gus Dur saat merajut damai di Aceh, Gus Dur tak segan-segan turun langsung untuk berdialog dengan pegiat Gerakan Aceh Merdeka (GAM) meskipun saat itu posisinya sebagai kepala Negara. Lagkah itu ditempuh agar Gus Dur tahu akar persoalan sehingga mudah untuk mencari jalan keluar.

Presiden Gus Dur menempatkan GAM sebagai mitra dialog sejajar untuk mencari solusi damai, meskipun aspirasinya bersebrangan 180 derajat. Dengan kata lain, sebagai Presiden, Gus Dur memasukkan mereka ke keluarga dan sistem kewarganegaraan dalam proses dialog tersebut. (hlm. 217).

Pada bagian ini, penulis hendak menunjukkan fakta bahwa Gus Dur memiiki cara-cara yang apik dalam menggali akar permasalahan yang berjadi sumber konflik, begitupun strategi penyelesaiannnya. Resolusi konflik yang dimainkan oleh Gus Dur nenurut penulis buku ini lebih pada penanaman mindsite bahwa Negara tetap hadir kepada seluruh warga Negara, nahkan kepada mereka yang sudah “tak mau” kepada Negara.

Demikian pula yang dilakukan Gus Dur saat  proses rekonsiliasi di Papua, pendekatan dialogis dengan menghadirkan Negara dalam jiwa warga kala itu menjadi pintu masuk yang sangat efektif dalam proses penyelesaian konflik yang hampir berujung disintegrasi tersebut. Gus Dur hadir sebagai teman, sebagai kawan, sebagai saudara, sebagai kekuarga  yang mengajak mereka untuk sama-sama menjaga keutuhan rumah tangga bernama Indonesia.

Sementara itu, lamgkah foral yang dilakukan Gus Dur sebagai kepala Negara dalam rangka percepatan penyelesaian konflik sosial tersebut adalah dengan memasukkan program rekonsilasi sebagai program prioritasnya, hal itu diintegrasikan dengan semua program kerja departemen dan lembaga Negara yang ada dibawah kendalinya waktu itu. Dengan demikian, ada sinergi antara program formal dan pendekatan personal seorang Gus Dur yang ujungnya berbuah manis, Papua dan Aceh bisa kembali damai, bersatu dalam dekapan ibu pertiwi.

Presiden Gus Dur menenpatkan pemecahan masalah ancaman disintegrasi menjadi salah satu prioritas utama, bukan saja karena agendanya untuk perdamaian, melainkan untuk mepertahankan Negara Kesatuan RI dan dasar Negara Pancasila serta menyelsaiaakan konflik secara dialogis dan damai. Dalam situasi yang tidak mudah tersebut, Gus Dur mengabil jalan yang lebih baik dan dialogis. (hlm. 191).

Salah satu faktor penentu keberhasilan Gus Dur dalam melakukan rekonsiliasi konflik sosial yang terjadi di Papua dan Aceh masa itu adalah konsistensi Gus Dur terhadap visi kewarganegaraan sebagai spirit dialogis antara pihaknya dengan warga konflik. Visi kewaarganegaraan inilah yang rupanya mampu menyentuh hati para warga sehingga proses resolusi konflik bisa diciptakan tanpa harus melahirkan dendam yang berkepanjangan. Inilah strategi perdamaian ala Gus Dur untuk daerah konflik seperti Aceh dan Papua, dialogis berbasis visi kewarganegaraan.

Sebagai pemegang skenario pengelolaan konflik, Gus Dur konsisten dalam menegakkan nilai-nilai kewarganegaraan. Presiden Gus Dur, selain menempatkan GAM sebagai warga Negara yang sejajar dengan warga Negara lain dalam negosiasi, juga mendorong transformasi elemen-elemen gerakan, termasuk GAM yang semula gerakan bersenjata menjadi gerakan sipil dan bahkan sejengkal lagi bertrasformasi menjadi partai politik. Lebih dari itu, visi kewarganegaraannya di satu sisi meminimalkan urgensi Negara untuk melakukan represi karena mereka berhadapan antara warga Negara dengan warga Negara di Negara yang sama dan sama-sama merupakan gerkaan masyarakat sipil. (hlm. 266).

 

*Pegiat Literasi, mukim di) Pamekasan Madura